Kredit Foto: Djati Waluyo
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bhaktiar, mengatakan rencana pemerintah untuk melegalkan sumur minyak rakyat berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Bisman menilai, meski niat pemerintah untuk menekan praktik ilegal dan memberdayakan masyarakat lokal patut diapresiasi, pendekatan legalisasi harus tetap mengacu pada sistem hukum yang berlaku dan memperhitungkan risiko teknis serta lingkungan.
“Industri migas itu berisiko tinggi, memerlukan teknologi dan modal besar, serta berpotensi mencemari lingkungan secara fatal jika tidak dikelola dengan baik. Jika masyarakat dilibatkan langsung tanpa kapasitas teknis yang memadai, dampaknya bisa berbahaya,” ujar Bisman pada Warta Ekonomi, Senin (07/07/2025).
Baca Juga: Bukan Solusi Jangka Panjang, Aspermigas Minta Pemerintah Stop Legitimasi Sumur Ilegal
Bisman mengatakan, residu minyak yang mencemari tanah akibat praktik eksploitasi tradisional hanya bisa dibersihkan dengan proses bioremediasi yang sangat mahal. Hal ini menambah kompleksitas dan beban jika pengelolaan dilakukan secara sembarangan.
Selain risiko teknis dan lingkungan, dari sisi regulasi, Bisman menilai bahwa skema legalisasi sumur rakyat melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2024 masih menyisakan celah hukum.
“Sesuai UU Migas, pengusahaan migas harus dilakukan melalui kontrak kerja sama antara Badan Usaha (BU) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan negara melalui SKK Migas. Nah, jika masyarakat diberi izin eksploitasi langsung, walaupun dibungkus dalam koperasi atau UMKM, ini berpotensi melanggar UU,” ujarnya.
Menurutnya, proses eksploitasi migas legal harus melalui tahapan wilayah kerja, penetapan operator, penyusunan rencana pengembangan Plan of Development (POD), hingga persetujuan anggaran kerja dan belanja Work Plan and Budget (WPNB) oleh SKK Migas.
Dengan begitu, semua pengeluaran dan aktivitas juga harus sesuai dengan mekanisme Cost Recovery atau Gross Split, yang tidak mungkin diikuti oleh badan usaha kecil atau komunitas lokal.
“Kalau rakyat dibiarkan ngebor lalu hasilnya dijual ke KUD atau BUMD, ini bisa membuka ruang manipulasi. Jangan-jangan yang bermain di balik rakyat itu adalah investor besar yang menyaru atas nama masyarakat,” ucapnya.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Inventarisasi Sumur Minyak Ilegal Rampung Juli 2025
Meski begitu, ia tidaK menampik terkait rencana pengorganisasian masyarakat dalam bentuk koperasi, BUMD, atau UMKM seperti yang diatur dalam Permen ESDM sah secara kelembagaan. Namun, ia menggarisbawahi bahwa aspek teknis dan akuntabilitas lingkungan tetap menjadi hambatan utama.
“Kalau yang mengelola adalah perusahaan besar, pemerintah bisa menuntut pertanggungjawaban atas kecelakaan atau pencemaran. Tapi kalau yang melakukan masyarakat, siapa yang bertanggung jawab?. Saya sudah lihat sendiri di Bojonegoro, kondisinya jorok sekali. Tidak tertib dan sangat membahayakan lingkungan,” ungkapnya.
Sebagai alternatif, ia mendorong pemerintah untuk memperkuat sistem keadilan dalam pengelolaan migas. Artinya, masyarakat tetap bisa menerima manfaat langsung dari kekayaan sumber daya alam di wilayahnya tanpa harus menjadi pelaku eksploitasi langsung.
“Bisa dengan skema pembagian hasil, program CSR, atau pemberdayaan masyarakat yang langsung dirasakan. Jangan sampai karena rasa ketidakadilan, masyarakat nekat mengelola sendiri dengan risiko tinggi,” tutupnya.
Baca Juga: Pemerintah ‘Sulap’ Minyak Ilegal Jadi Lifting Nasional Lewat Skema Sumur Rakyat
Sementara itu, Ketua Komite Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi (Aspermigas), Moshe Rizal, menilai rencana pemerintah untuk melegalisasi sumur rakyat sangat berisiko dan berpotensi merusak tatanan sektor migas nasional.
Menurutnya, legalisasi ini bisa membuka celah bagi praktik-praktik ilegal yang lebih luas dan menurunkan standar keselamatan serta profesionalitas industri hulu migas.
"Ini cukup berisiko, karena membuka peluang eksploitasi oleh pihak-pihak yang melihatnya sebagai celah. Sektor migas adalah sektor dengan risiko teknis yang tinggi dan kompleks," ujar Moshe kepada wartawan, Rabu (3/7/2025).
Moshe mengatakan, legalisasi tidak bisa menjadi solusi instan untuk memperbaiki praktik sumur ilegal. Justru, hal itu dinilai akan membiarkan masyarakat yang tidak memiliki latar belakang teknis dan pengalaman di sektor migas terlibat dalam aktivitas berbahaya.
"Masyarakat yang diminta untuk mengelola sumur ini kebanyakan tidak memiliki edukasi dasar migas, apalagi standar engineering. Di industri migas, jadi engineer saja butuh kuliah empat tahun, sertifikasi, dan pengalaman kerja," ujarnya.
Baca Juga: Kelola Sumur Minyak Rakyat, UMKM Wajib Punya Modal Rp5 Miliar
Moshe juga mempertanyakan kejelasan tanggung jawab dalam proses pembinaan sumur rakyat seperti yang diatur dalam regulasi terbaru.
"Siapa yang membina? Kementerian ESDM? Siapa yang memastikan semuanya sesuai kaidah migas dan menjamin keselamatan selama masa pembinaan itu?" katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pembiaran terhadap aktivitas sumur rakyat justru berpotensi menciptakan preseden buruk di sektor sumber daya alam lainnya seperti batubara dan mineral.
Selain itu, Ia menilai legalisasi sumur rakyat justru bisa merusak kepercayaan investor terhadap kepastian hukum di sektor migas.
"Investor tidak akan nyaman jika wilayah kerjanya diganggu oleh pihak-pihak tak berizin," katanya.
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah tidak hanya berfokus pada kontribusi ekonomi sumur minyak rakyat, tetapi juga mempertimbangkan aspek keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
"Berapa nilai satu nyawa? Setiap tahun selalu ada korban jiwa akibat kecelakaan di sumur ilegal. Ini bukan solusi jangka panjang," ucapnya.
Baca Juga: Pemerintah Andalkan Sumur Rakyat Untuk Capai Target Lifting Minyak dan Gas Naik di RAPBN 2026
Sebagai solusi jangka panjang, Mose mengusulkan pembentukan lembaga permanen di bawah institusi penegak hukum untuk menangani praktik sumur ilegal secara menyeluruh.
Ia menilai pendekatan saat ini, yang hanya mengandalkan satuan tugas sementara, tidak cukup untuk membongkar struktur di balik praktik tersebut.
"Ini operasi terorganisir. Di balik sumur-sumur itu ada operator, pendana, dan backing politik. Jadi butuh lembaga seperti BNPT untuk terorisme, atau BNN untuk narkoba. Masalah ini harus ditangani secara serius dan terstruktur," ujarnya.
Lebih lanjut, Moshe mendorong pemerintah untuk mengarahkan masyarakat yang terlibat dalam aktivitas sumur ilegal ke sektor usaha yang lebih aman, produktif, dan berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Advertisement