Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

AS Tetapkan Tarif 19% untuk RI, Jauh Lebih Baik dari Skenario Terburuk

AS Tetapkan Tarif 19% untuk RI, Jauh Lebih Baik dari Skenario Terburuk Kredit Foto: Antara/REUTERS/Tom Brenner
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Amerika Serikat resmi menetapkan tarif bea masuk sebesar 19% untuk sejumlah produk ekspor Indonesia ke pasar AS per 17 Juli 2025. Kebijakan ini disambut positif karena lebih rendah dari potensi tarif 32% yang sempat mengemuka, sekaligus menciptakan peluang dagang baru bagi Indonesia.

Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menjelaskan bahwa meskipun tarif tersebut dikenakan kepada importir AS, dampaknya tetap terasa pada daya saing produk Indonesia.

Ia menilai tarif ini menempatkan Indonesia dalam posisi kompetitif dibanding negara lain seperti Vietnam (20%), India (23–25% untuk tekstil dan alas kaki), serta China yang dikenai lebih dari 50% untuk banyak kategori.

"Tarif 19% ini memberi keunggulan awal, tetapi importir AS mempertimbangkan total landed cost—termasuk efisiensi logistik, kualitas produk, dan sertifikasi standar," kata Liza kepada Warta Ekonomi, Kamis (17/7/2025).

Baca Juga: Prabowo Bakal Temui Donald Trump, Siap Lobi Ulang Tarif 19%

Produk unggulan Indonesia yang terdampak meliputi tekstil dan produk tekstil, alas kaki, furnitur, kerajinan kayu, produk perikanan, karet, kelapa sawit olahan, serta komponen elektronik dan kabel. Dengan tarif yang lebih rendah dari beberapa pesaing, Indonesia berpeluang merebut kembali pangsa pasar.

Namun, kesepakatan tarif ini diiringi komitmen impor energi dan pertanian dari AS senilai hampir USD 20 miliar, termasuk LNG, batu bara, kedelai, jagung, dan gandum. Liza memperingatkan bahwa lonjakan impor dapat memberi tekanan pada nilai tukar jika tidak diimbangi dengan ekspor atau arus investasi masuk.

Baca Juga: BI Dalami Dampak Penurunan Tarif Impor AS ke Indonesia

Di sektor aviasi, Indonesia juga menyepakati pembelian 50 unit pesawat Boeing senilai USD 10–11 miliar. Maskapai Garuda Indonesia dan Batik Air disebut sebagai calon pembeli. Liza menyebut pembelian ini bagian dari diplomasi dagang, meski bisa menimbulkan beban finansial jika tidak dikelola hati-hati.

"Jika dilakukan bertahap dan lewat skema leasing, pembelian ini bisa menjadi alat ekspansi. Tapi risikonya tetap ada, termasuk overkapasitas dan beban anggaran," ujarnya.

Per Mei 2025, Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD 15,38 miliar, naik dari USD 13,06 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Namun, ketergantungan pada pangan impor dikhawatirkan dapat mengganggu agenda swasembada.

"Yang pasti, kita dapat kejelasan. Tarif 19% ini jauh lebih baik dari skenario terburuk. Pemerintah berhasil melobi untuk posisi yang lebih kompetitif," pungkas Liza.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: