Ekonomi Hijau Dinilai Bisa Dongkrak Pertumbuhan RI hingga 7 Persen
Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Indonesia perlu mengubah strategi pembangunan ekonomi dengan mengadopsi kebijakan industri hijau untuk meningkatkan daya saing dan keluar dari jebakan pertumbuhan rendah. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menilai langkah ini penting agar target pertumbuhan 6–7 persen dan status negara berpendapatan tinggi dapat tercapai.
“Kalau kita ingin tumbuh 6–7 persen dan menjadi negara berpendapatan tinggi, strategi baru harus ditempuh. Salah satunya green industrial policy seperti yang dilakukan China,” ujar Imaduddin pada pembukaan Talkshow 30 Tahun Indef di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Ia mencontohkan, dominasi China di pasar produk ramah lingkungan membuat negara-negara Barat kewalahan. “Hari ini, 80 persen produk yang masuk ke Amerika adalah barang hijau buatan China,” katanya.
Baca Juga: Dukung Ekonomi Hijau, METI Siap Perkuat Peran Indonesia dalam Transisi Energi Berkelanjutan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada kuartal II/2025. Namun, proyeksi akhir tahun menunjukkan potensi pertumbuhan di bawah 5 persen. Hambatan struktural, dampak berkepanjangan pandemi Covid-19, kesenjangan output gap PDRB per kapita, serta kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap puluhan negara, menjadi faktor penghambat pencapaian target pemerintah sebesar 8 persen.
Imaduddin menekankan perlunya peran aktif negara sebagai pengatur utama, bukan sekadar membiarkan pasar bekerja sendiri. “Dunia sudah bergerak ke arah ekonomi hijau, kita harus ikut agar tidak tertinggal,” tegasnya.
Baca Juga: Pembiayaan Hijau Capai Rp29,3 Triliun, BI Dorong Transformasi Ekonomi Hijau
Sejalan dengan gagasan ini, peneliti CELIOS Jaya Darmawan mengusulkan penerapan pajak penghilangan keanekaragaman hayati sebagai instrumen fiskal baru. Pajak ini dikenakan kepada individu atau perusahaan yang terbukti menyebabkan kerusakan atau hilangnya biodiversity di Indonesia.
Berdasarkan riset bersama pakar biodiversitas, nilai layanan ekosistem Indonesia diperkirakan mencapai 5.000 dolar AS per unit. Dengan asumsi kehilangan biodiversitas 25 persen, potensi pendapatan dari pajak ini dapat mencapai Rp48,58 triliun per tahun. Jaya mencontohkan kasus di Wonogiri, Jawa Tengah, di mana aktivitas tambang dan pabrik semen menggerus fungsi ekosistem kars.
Menurutnya, pajak ini dapat menjadi insentif ekonomi untuk mendorong pelaku usaha lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan sekaligus menambah penerimaan negara, sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap konservasi dan target Sustainable Development Goals (SDGs).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement