Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Soroti Penggunaan SK AFPI dalam Kasus KPPU

Pakar Soroti Penggunaan SK AFPI dalam Kasus KPPU Kredit Foto: Khairunnisak Lubis
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI), Ditha Wiradiputra, menilai langkah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadikan Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai bukti kesepakatan antar platform tidak tepat secara hukum.

Penilaian tersebut disampaikan menanggapi sidang perdana dugaan kesepakatan penentuan manfaat ekonomi pinjaman daring (pindar) yang digelar KPPU pada Kamis (14/8).

Dalam persidangan, investigator KPPU, Arnold Sihombing, menyatakan kesepakatan penetapan bunga pinjaman antar anggota AFPI tertuang dalam SK AFPI tahun 2020 dan 2021 yang menjadi code of conduct seluruh anggota. Kesepakatan itu disebut melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Baca Juga: Akademisi Soroti KPPU Soal Sidang Dugaan Kartel Bunga Pinjaman Daring

Menurut Ditha, code of conduct pada umumnya hanya bersifat sebagai pedoman perilaku dan etika, bukan perjanjian bisnis yang menimbulkan konsekuensi hukum langsung terhadap pelaku usaha. Pedoman tersebut, lanjutnya, tidak membatasi atau mengurangi persaingan antar perusahaan.

“Jika SK tersebut dibuat untuk mengatur perilaku platform agar lebih baik dalam melayani konsumen, memperkuat tata kelola, dan bermanfaat, kenapa jadi dipermasalahkan? Menjadi soal apabila pedoman tersebut mengurangi terjadinya persaingan,” kata Ditha.

Baca Juga: Pindar Jadi Jebakan Utang Digital, Komisi XI Dukung KPPU Tindak Tegas Praktik Kartel Pindar

Ia menekankan, pasar pinjaman daring masih menunjukkan tingkat persaingan yang ketat dengan banyaknya pelaku usaha. Dari pembacaan terhadap isi pedoman, menurutnya, tidak terdapat kesepakatan penetapan harga yang dibuat oleh anggota AFPI.

Ditha menilai penggunaan SK code of conduct sebagai bukti persekongkolan terlalu dipaksakan. Ia menjelaskan bahwa penerapan pedoman tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk mengatur standar operasional atau perilaku berdasarkan nilai dan prinsip tertentu, bukan instrumen untuk menyepakati harga atau membatasi persaingan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: