Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PN Jaksel Tolak Praperadilan Eks Pejabat Kemhan Leonardi Terkait Kasus Korupsi Satelit Rp306 Miliar

PN Jaksel Tolak Praperadilan Eks Pejabat Kemhan Leonardi Terkait Kasus Korupsi Satelit Rp306 Miliar Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Praperadilan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi proyek pengadaan user terminal Navayo International AG di lingkungan Kementerian Pertahanan RI senilai Rp306 miliar.

"Mengadili satu menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara termohon praperadilan dari Pemohon, dua menyatakan praperadilan dari pemohon tidak dapat diterima," ujar Abdul Affandi hakim tunggal Praperadilan di PN Jakarta Selatan, Selasa (19/8/2025).

Hakim juga mengatakan bahwa pada saat terjadi tindak pidana pada saat pemohon sebagai prajurit TNI aktif walaupun saat praperadilan ini diajukan pemohon sebagai purnawirawan TNI.

“Menimbang bahwa dugaan tindak pidana dilakukan di saat pemohon masih prajurit aktif maka peradilan militer tetap berwenang untuk memeriksa dan mengadili meskipun pemohon sudah pensiun ketika proses permohonan ini,” sebut Abdul.

Kuasa hukum Leonardi, Rinto Maha menghormati putusan yang menolak praperadilan Leonardi untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan, namun menerima esepsi atau pembelaan Leonardi.

"Dalam putusan ini eksepsi kami diterima, relevansinya ke perjuangan kita, gak ada masalah. Kita hargai pendapat hakim. Buat kami itu bukan ukuran bahwa perjuangan pak Leonardi berhenti di sini,” katanya. 

Pihaknya menyambut baik kalau pengadilan yang berwenang untuk menyidangkan kasus Leonardi adalah pengadilan militer. “Bukan di koneksitas, ingat jaksa agung itu sipil dan subordinatnya presiden,” kata Rinto. 

Diketahui Praperadilan ini sendiri menjadi alat kontrol yuridis untuk menguji keabsahan penyidikan dan penetapan tersangka terhadap Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi sebelum perkara memasuki tahap pemeriksaan pokok di Pengadilan Militer.

"Kami tegaskan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka dalam perkara satelit slot orbit 123° BT tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Fakta persidangan dan keterangan ahli memperlihatkan dengan jelas: tidak ada kerugian negara, tidak ada niat jahat, dan tidak ada unsur delik korupsi yang terpenuhi," ujarnya. 

Ia menyebutkan bahwa tagihan penyedia tidak diakui pemerintah karena tidak memenuhi kontrak. 

"Negara tidak hanya tidak rugi, bahkan justru yang mengalami kerugian adalah penyedia itu sendiri. Logika hukum terbalik bila dalam situasi negara tidak kehilangan aset, seseorang tetap dituduh merugikan negara," jelas Rinto Maha.

Delik korupsi menuntut adanya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum terhadap Leonardi, faktanya kata Rinto, bahwa kliennya tidak menerima keuntungan pribadi apa pun. Tidak ada aliran dana ke dirinya atau pihak lain.

Menurutnya tindakan yang dilakukan Leonardi adalah administratif, bukan perbuatan yang mengandung niat jahat. Ahli hukum pidana menegaskan: kesalahan administratif tidak bisa dipidana (UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Itu ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana.

Berdasarkan keterangan Hamdani, ahli Keuangan Negara, Universitas Andalas mengatakan wanprestasi penyedia yang belum dibayar negara tidak dapat disebut kerugian negara.

"Kunci pokok pidana ini adalah pembuktian adanya kerugian keuangan negara. Kalau ternyata kerugian negara tidak ada dan tidak ada pihak lain yang diuntungkan, maka sifat melawan hukumnya menjadi hilang," katanya.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Mompang Panggabean ahli hukum pidana Universitas Kristen Indonesia yang menyebut bahwa potensi kerugian keuangan negara tidak bisa dijerat hukum.

"Korupsi hanya bisa dijerat jika ada kerugian negara yang nyata. Potensi kerugian tidak berlaku lagi pasca putusan MK 2016," jelas Mompang.

Dengan demikian, dasar penetapan tersangka yang hanya mengandalkan audit estimatif BPKP adalah cacat hukum, sebab BPKP tidak berwenang menyatakan kerugian negara (SEMA No. 4 Tahun 2016).

Kejaksaan Agung menyebut bahwa kasus ini bermula dari penyidikan atas perjanjian Agreement for the Provision of User Terminal and Related Services and Equipment antara Navayo International AG dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI pada 1 Juli 2016, termasuk amandemennya tanggal 15 September 2016.

Proyek ini diduga merugikan keuangan negara dan melibatkan tiga tersangka. Mereka adalah Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi eks pejabat Kemenhan, Thomas Anthony Van Der Heyden sebagai tenaga Ahli Kemhan, dan Gabor Kuti Szilard sebagai CEO Navayo.

Penyidikan intensif dimulai sejak 2022 berdasarkan sejumlah Surat Perintah Jaksa Agung, dengan yang terakhir diterbitkan pada 5 Mei 2025.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: