- Home
- /
- Government
- /
- Government
Program Makan Bergizi Gratis di RAPBN 2026 Berisiko Picu Inflasi Pangan
Kredit Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang diproyeksikan optimistis dengan kenaikan pendapatan negara, dinilai menyimpan risiko di balik salah satu program prioritasnya. M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, mengingatkan bahwa program makan bergizi gratis berpotensi menimbulkan tekanan inflasi pangan lokal jika tata kelola rantai pasok tidak diperkuat.
Menurut Rizal, program tersebut memang memiliki tujuan baik dalam memperbaiki kualitas gizi masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan mendasar seperti distribusi pangan, kapasitas produksi, hingga pengendalian harga harus menjadi perhatian serius agar manfaat program tidak menimbulkan dampak balik terhadap stabilitas harga.
"Program makan bergizi gratis berpotensi baik untuk memperbaiki gizi masyarakat, tetapi rawan salah sasaran serta dapat menimbulkan tekanan inflasi pangan lokal jika tata kelola rantai pasok tidak diperkuat," jelas Rizal dikutip dari keterangan resmi, Rabu (20/8/2025).
Selain isu MBG, Rizal juga menyoroti bahwa delapan program unggulan dalam RAPBN 2026 menghadapi problem implementasi. Misalnya, alokasi besar untuk ketahanan pangan masih dibayangi masalah klasik pupuk, dominasi pasar oleh swasta, serta kerentanan iklim. Sementara itu, transisi energi tersendat oleh ketergantungan industri pada energi fosil, yang justru memperlambat dekarbonisasi.
"8 program unggulan dalam RAPBN 2026 menghadapi problem implementasi serius. Misalnya, program ketahanan pangan, meski mendapat alokasi termasuk terbesar, masih terjebak pada persoalan klasik seperti distribusi pupuk, dominasi pasar oleh swasta, dan kerentanan iklim. Transisi energi terhambat oleh ketergantungan pada energi fosil untuk industri hilirisasi, yang justru memperlambat dekarbonisasi," jelas Rizal.
RAPBN 2026 sendiri disusun pemerintah dengan narasi konsolidasi fiskal dan proyeksi defisit menuju nol. Namun, menurut Rizal, fokus pada program prioritas yang bersifat populis harus dibarengi penguatan kebijakan struktural agar tidak mengganggu keseimbangan fiskal maupun stabilitas ekonomi.
"RAPBN 2026 pada dasarnya menyajikan proyeksi optimis dengan peningkatan
pendapatan negara dan pengetatan defisit menuju nol. Namun, di balik narasi optimisme tersebut, masih terdapat paradoks fiskal. Ketergantungan pada pembiayaan utang tetap besar, sementara belanja negara diarahkan pada delapan agenda prioritas yang bersifat populis, tetapi belum
seluruhnya menjawab akar masalah pembangunan struktural. Konsolidasi fiskal yang ditekankan pemerintah berisiko menjadi sekadar target nominal, tanpa diimbangi perbaikan kualitas belanja dan efektivitas kebijakan," tutur RizalĀ
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ida Umy Rasyidah
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement