Soroti Anomali di Industri Tekstil, Kemenperin: Tuntut Proteksi, tapi Gencar Impor
Kredit Foto: Istimewa
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti rendahnya kepatuhan administratif sekaligus paradoks strategi di industri tekstil hulu yang berada di bawah Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI). Transparansi dan konsistensi, menurut Kemenperin, menjadi kunci agar daya saing sektor ini tetap terjaga.
Namun, dari catatan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), hanya 15 dari 20 perusahaan anggota APSyFI yang melaporkan aktivitas industrinya. Sisanya, lima perusahaan tidak memberikan laporan sama sekali.
“Masih ada perusahaan besar anggota Apsyfi yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal, kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” ungkap Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (24/8).
Baca Juga: Industri Tekstil Sambut Penurunan Tarif AS, API Ingatkan Ancaman Produk Impor
Ironisnya lagi, di tengah desakan asosiasi agar pemerintah memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor oleh anggotanya sendiri. Data Kemenperin mencatat, impor benang dan kain oleh perusahaan anggota APSyFI naik 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram di 2025.
“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” ujar Febri.
Padahal, pemerintah selama ini telah memberikan berbagai perlindungan fiskal bagi industri hulu tekstil. Misalnya, Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) yang berlaku sejak 2010 hingga 2027, BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) yang berlaku sampai 2025, Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) benang serat sintetis hingga 2026, serta BMTP kain yang berlaku sampai 2027.
“Artinya, industri anggota APSyFI selama ini sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor. Namun, sayangnya tidak diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi,” jelasnya.
Kemenperin mengingatkan, kebijakan proteksi maupun rekomendasi impor selalu dirancang berdasarkan prinsip keadilan, agar hulu, intermediate, dan hilir sama-sama mendapat ruang tumbuh.
Industri hilir yang berorientasi ekspor, misalnya, diberi kemudahan agar mampu bersaing global, sementara pasar domestik diarahkan pada substitusi impor sesuai kapasitas industri nasional.
Baca Juga: Premanisme Regulasi di Sektor Tekstil Harus Dihentikan
Febri juga menegaskan, jika usulan BMAD dengan tarif 45% diterapkan sesuai perhitungan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), dampaknya bisa fatal. “Risikonya adalah PHK hingga 40.000 pekerja di industri hilir. Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” ujarnya.
Meski demikian, sektor tekstil masih menunjukkan kinerja positif. Pada kuartal I dan II 2025, pertumbuhan tercatat di atas 4%. Menurut Kemenperin, momentum ini harus terus dijaga, bukan diganggu dengan narasi yang membingungkan publik.
“Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Justru di tengah pertumbuhan ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik,” pungkas Febri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait:
Advertisement