Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Regulasi Rumit hingga Royalti Tinggi Jadi Tantangan Investasi Asing datang ke Indonesia

Regulasi Rumit hingga Royalti Tinggi Jadi Tantangan Investasi Asing datang ke Indonesia Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

CEO Eramet Indonesia, Jérôme Baudelet, mengatakan investasi di Indonesia bagi perusahaan asing bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. 

Menurutnya, regulasi yang rumit serta kekayaan biodiversitas yang harus dijaga kerap menjadi faktor yang membuat investor asing merasa khawatir.

“Ketika Anda berpikir tentang Indonesia, terutama sebagai perusahaan asing, beberapa orang merasa takut. Mereka merasa bahwa beroperasi di Indonesia itu rumit, lingkungannya sulit, dan harus berurusan dengan pemerintah. Namun, pada akhirnya, ini tidak terlalu buruk dibandingkan dengan negara lain,” ujar Jérôme dalam acara Eramet Journalist Class di Jakarta, Senin (25/8/2025).

Baca Juga: Ekosistem Baterai Nikel Skala Besar Harus Perhatikan Investasi di R&D

Di sisi lain, ia menyoroti perkembangan industri nikel yang dinilai terlalu cepat membangun fasilitas pemurnian (smelter), baik Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) maupun High Pressure Acid Leaching (HPAL). Kondisi itu menyebabkan kelebihan pasokan dan membuat harga produk turun.

“Saat ini harga produk pemurnian di Indonesia menurun dan profitabilitas smelter, baik RKEF maupun HPAL, menjadi sangat sulit,” lanjutnya.

Menurut Jérôme, situasi ini menekan pemilik smelter, meski bagi perusahaan tambang justru menguntungkan karena serapan bijih tetap tinggi. Namun ia menegaskan kondisi tersebut bersifat siklus dan pada akhirnya pasar akan kembali menyerap seiring meningkatnya permintaan produk turunan nikel.

Baca Juga: Harga Anjlok, APNI Minta Evaluasi Hilirisasi dan Produksi Nikel Nasional

“Hal ini sedikit menyulitkan bagi orang-orang yang telah berinvestasi dalam operasi peleburan. Hal lain yang terkadang agak merepotkan adalah perubahan kebijakan,” katanya.

Salah satu perubahan kebijakan yang dimaksud adalah kenaikan tarif royalti tambang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 yang menggantikan PP Nomor 26 Tahun 2022. Aturan ini menetapkan skema tarif progresif berdasarkan Harga Mineral Acuan (HMA), termasuk untuk nikel, mangan, dan tembaga. Untuk bijih nikel, misalnya, tarif royalti ditetapkan 14% bila harga di bawah US$18.000 per ton, dan naik menjadi 19% jika harga menembus di atas US$31.000 per ton.

“Menurut saya, hal itu bagus untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Satu-satunya poin adalah waktunya tidak tepat. Hal ini terjadi ketika industri sedang menderita. Jadi saya cukup terkejut untuk smelter khususnya. Saya pikir untuk pertambangan itu sendiri tidak apa-apa, namun bagi smelter ini cukup mengejutkan,” jelasnya. 

Baca Juga: Aturan Baru RKAB Minerba Berlaku 2026, Pengajuan Perpanjangan Dimulai Oktober 2025

Ia juga menyinggung soal kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang kembali diubah menjadi tahunan mulai Oktober 2025, seiring revisi Permen ESDM No. 10 Tahun 2023.

“RKAB direvisi lagi menjadi satu tahun. Jadi ya, kami menerimanya tentu saja. Namun kesulitannya adalah hal ini menyulitkan dalam perencanaan,” tutup Jérôme.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: