Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menekankan pentingnya penguatan resiliensi rantai pasok global di tengah meningkatnya proteksionisme perdagangan dan disrupsi teknologi.
Menurut Bambang, lebih dari 80 negara telah terdampak hambatan perdagangan yang berimplikasi langsung terhadap stabilitas jaringan nilai global.
Baca Juga: Belajar Bisnis dari La Liga: Strategi Ekonomi Klub Sepak Bola Spanyol
"Stabilitas rantai perdagangan berkaitan erat dengan pekerjaan, harga, dan kehidupan jutaan orang," ujar Bambang, dikutip Minggu (31/8/2025).
Meski demikian, ia menilai perekonomian Indonesia masih menunjukkan ketahanan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) tumbuh 5,12 persen per tahun pada dua bulan pertama 2025, lebih cepat dibanding pertumbuhan 4,87 persen pada bulan sebelumnya.
"Pertumbuhan ini didorong konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor yang kuat," kata Bambang.
Namun, ia mengingatkan bahwa resiliensi saat ini tidak menjamin daya tahan di masa depan. Untuk itu, Indonesia perlu memperkuat integrasi dalam rantai pasok global secara adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
"Selama beberapa dekade, rantai pasok dibangun hanya untuk efisiensi. Kini, resiliensi dan keamanan sama pentingnya," ungkapnya.
Bambang mencontohkan pandemi COVID-19, konflik geopolitik, serta perubahan iklim yang menunjukkan rapuhnya sistem rantai pasok.
Ia mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan fragmentasi rantai pasok dapat menurunkan PDB global hingga 2 persen, dengan beban paling berat ditanggung negara berkembang.
Lebih lanjut, ia menilai posisi geografis dan sumber daya alam menjadikan Indonesia berpotensi sebagai pusat rantai pasok baru, khususnya di sektor energi hijau.
"Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, namun potensi ini hanya bisa diwujudkan jika kita memperkuat industri hilir, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan membangun kemitraan diversifikasi," ujarnya.
Bambang juga menyoroti pentingnya transformasi digital sebagai prasyarat daya saing rantai pasok masa depan.
"Data real-time, analitik prediktif, dan kecerdasan artifisial akan menentukan kecepatan adaptasi terhadap disrupsi," katanya.
Ia mencatat sekitar 89 persen usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia belum mengadopsi teknologi digital pada 2020, sehingga kesenjangan ini harus segera ditutup.
Selain itu, Bambang menegaskan bahwa kerja sama multilateral tetap krusial. Menurutnya, isolasi tidak memberi keamanan karena tantangan global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan disrupsi digital terlalu besar untuk ditangani sendiri.
"Indonesia, sebagai anggota G20 dan ekonomi utama Asia Tenggara, memiliki tanggung jawab untuk memperkuat perdagangan terbuka dan berbasis aturan," tegasnya.
Dalam penutup, Bambang menekankan tiga hal: rantai pasok harus tangguh sekaligus inklusif, transformasi digital bukan pilihan melainkan kebutuhan, dan kerja sama multilateral harus diperkuat.
Baca Juga: MTI Soroti Dampak Ekonomi Usai Driver Ojol Wafat di Kompleks DPR
"Rantai pasok bukan hanya soal barang dan jasa, tetapi juga tentang pekerja, pengusaha, dan komunitas yang kehidupannya bergantung pada stabilitas ekonomi," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement