Peneliti Sebut Data Kemiskinan Nasional Dinilai Perlu Reformasi Menyeluruh
Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
INDEF merasa penghitungan angka kemiskinan Indonesia dinilai perlu reformasi agar mencerminkan kondisi riil masyarakat. Pasalnya, metode Badan Pusat Statistik (BPS) yang selama 20 tahun dinilai tidak banyak berubah dan masih bertumpu pada garis kemiskinan pendapatan.
Abdul Hakam Naja, Peneliti CSED INDEF, menyebutkan perlunya ukuran kemiskinan yang lebih komprehensif.
“Sekarang ukuran kita karena menggunakan standar lama itu belum multidimensi. Kontrabang dunia merilis sebaiknya menggunakan ukuran yang multidimensi. Ada capaian pendidikan, partisipasi pendidikan, penggunaan listrik, listrik jam berapa watt, sanitasi punya enggak, air minumnya ada enggak yang sehat dan bersih, kemudian juga kemampuan keuangan, kemudian jumlah alat,” ungkapnya dalam diskusi publik INDEF, Kamis (11/9/2025).
Baca Juga: Laporan Global Ungkap 68% Penduduk Indonesia Miskin
Hakam mengungkap, wacana perubahan metode sedang digodok. “Saya dengar katanya pemerintah akan merubah penghitungan BPS, tidak menggunakan pendekatan yang sudah 20 tahun ini tidak berubah. Saya dengar Prof Arief Ansori, dosen di UNPAD sedang menginisiasi untuk ada perubahan sehingga kita lebih realistik,” katanya.
Menurutnya, metode lama memberi kesan jumlah orang miskin kecil, padahal masalah sosial masih nyata.
Baca Juga: Ternyata, Masih Ada 24 Juta Orang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan
“Sehingga tidak seperti sekarang seolah kita yang miskin sedikit kemudian kita merasa tidak ada masalah,” jelasnya.
Hakam menilai, pembaruan metodologi ini krusial untuk mendukung kebijakan publik yang lebih tepat sasaran. “Multidimensi itu penting agar kita bisa tahu bukan hanya pendapatan, tapi juga kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement