Ekonom: Penempatan Dana Pemerintah Rp200 Triliun di Bank Himbara Sah, Sesuai PMK dan UU Bendahara Negara
Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Ekonom dari NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, berpendapat bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun di bank umum tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap pandangan ekonom INDEF Prof. Didik J. Rachbini yang menyatakan bahwa langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam mengambil kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk dimasukkan ke bank Himbara dinilai melanggar konstitusi.
“Menurut saya, penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di bank umum dianggap melanggar konstitusi itu tidak tepat. Tampaknya ada kekeliruan tentang mekanisme pengelolaan kas negara,” tutur Herry, Selasa (16/9).
Dijelaskan Herry, UUD 1945 dan UU Bendahara Negara 2004 tidak membahas secara khusus tentang saldo anggaran lebih (SAL) seperti yang dipersoalkan. Penggunaan dana SAL diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Berdasarkan PMK Nomor 147 Tahun 2021 dan PMK Nomor 44 Tahun 2024, penempatan SAL di bank adalah sah. Meskipun bukan rekening operasional penerimaan dan pengeluaran.
“Dalam regulasi tersebut, syarat penempatan kas negara ada tiga, mudah dicairkan, minim risiko, dan dicatat. Dana Rp200 trliliun itu sudah memenuhi syarat-syarat tersebut. Bahkan aspek transparansinya juga sudah dipenuhi, karena publik perlu tahu,” kata Herry.
Baca Juga: Strategi Baru Kemenkeu Optimalkan Pajak Ekonomi Digital
Ia juga mengoreksi statement Didik Rachbini bahwa penempatan dana di bank harus melalui proses legislasi seperti APBN. Herry menegaskan, penempatan kas bukanlah belanja negara.
Ia menjelaskan, belanja adalah pengeluaran yang mengurangi kas negara secara permanen, seperti gaji pegawai, belanja modal, subsidi, dan wajib melalui persetujuan DPR.
Sedangkan penempatan dana hanya memindahkan lokasi penyimpanan kas pemerintah dari Bank Indonesia ke bank umum (Himbara).
Baca Juga: Menkeu Purbaya Bandingkan Kondisi Ekonomi Era SBY dan Jokowi, Apa Perbedaannya?
“Menganggap penempatan kas sama dengan belanja sama saja dengan menyamakan seseorang yang memindahkan tabungan dari Bank A ke Bank B demi bunga lebih tinggi, dengan seseorang yang menghabiskan uangnya untuk belanja barang. Secara akuntansi dan hukum, keduanya berbeda jauh,” katanya.
Kebijakan Menkeu Purbaya Langkah Tepat
Herry tidak setuju dengan anggapan kebijakan Menkeu Purbaya bersifat spontan. Alasannya, karena saldo kas pemerintah per akhir Agustus 2025 berjumlah lebih dari Rp425 triliun. Jumlah ini telah melebihi batas aman kas negara.
Penempatan dana di bank umum, lanjut Herry, justru sebagai bentuk manajemen kas yang prudent. Kebijakan ini dapat menghasilkan manfaat, seperti menambah bunga sebagai PNBP, serta menambah likuiditas perbankan untuk menyalurkan kredit produktif ke sektor prioritas.
“Kalau ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menjadi preseden pelemahan institusi juga kurang tepat,” ujarnya.
Dijelaskan Herry, kebijakan ini dapat memperkuat peran Bendahara Umum Negara dalam mengelola kas, sesuai praktik treasury management di negara modern.
Ia mengatakan, dana yang ditempatkan di bank umum juga tetap tercatat sebagai kas negara di Rekening Kas Umum Negara (RKUN), dan bisa ditarik lagi kapanpun.
Baca Juga: Kemenkeu Bidik Pajak Kripto Demi Capai Target Pajak Rp2.357 Triliun di 2026
“Tidak ada satu rupiah pun yang ‘hilang’ dari kas negara. Jadi, penempatan kas di bank umum adalah kebijakan manajemen kas yang sah, transparan, dan propertumbuhan, bukan belanja baru yang memerlukan revisi UU,” papar Herry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement