China Makin Intens Tanamkan Pengaruh, ASEAN Diimbau Perkuat Sentralitas
Kredit Foto: Istimewa
Hubungan antara China dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan sebuah fenomena yang penting dan menarik untuk diperhatikan. Kedekatan antara China dan kawasan Asia Tenggara menyebabkan interaksi antara kedua pihak terjalin sejak berabad-abad, bahkan jauh sebelum Republik Rakyat China (RRC) berdiri.
Selain hubungan perdagangan yang berlangsung selama ratusan, atau bahkan ribuan tahun, hubungan antara kedua pihak diwarnai juga dengan upaya menanamkan pengaruh, khususnya dari pihak China pada Asia Tenggara.
Upaya China mempengaruhi Vietnam, serangan Dinasti Yuan ke Jawa di era Kertanegara, serta perjalanan armada Laksamana Cheng Ho melalui Nusantara adalah beberapa contoh dari upaya menanamkan pengaruh dari daratan China ke Asia Tenggara, meski tak selalu diwarnai dengan kekerasan.
Dalam era modern ini, upaya China menanamkan pengaruh di kawasan kita terlihat dari berbagai strategi yang diterapkan RRC dalam menjalin relasi baik dengan negara-negara Asia Tenggara maupun dengan organisasi yang menaungi negara-negara kawasan ini, yaitu Asosiasi Bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN).
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menyatakan bahwa sejak sekitar tiga dasawarsa lalu, China berupaya untuk menangkal setiap perkembangan yang berpotensi mengganggu kepentingan nasionalnya melalui hubungannya dengan ASEAN, serta melalui kehadirannya dalam forum-forum yang digagas oleh ASEAN.
Baca Juga: Taiwan Ajak Uni Eropa Bentuk Aliansi Lawan Ancaman Rusia-China
Menurut pemerhati China yang juga dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, keinginan RRC untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara makin terlihat sejak Presiden Xi Jinping menduduki posisi kepemimpinan tertinggi di negeri itu.
“China telah menjalankan seperangkat inisiasif ekonomi, politik, diplomatik, dan sosial budaya dengan ASEAN dan negara-negara anggotanya untuk meningkatkan citra internasional China, serta memperkuat klaim teritorialnya di Laut China Selatan (LCS) dan Selat Taiwan,” tutur Johanes seusai seminar bertajuk “Kepemimpinan Malaysia dan Diplomasi Tiongkok di ASEAN,” yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (29/9).
Mengutip riset yang sedang dilaksanakan oleh FSI di bawah koordinasi alumni Universitas Western Australia (UWA) Ratih Kabinawa, Johanes menyampaikan pandangan bahwa salah satu strategi yang RRC lakukan untuk menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara adalah dengan secara khusus mendekati negara yang sedang mendapat giliran sebagai ketua ASEAN.
“Hal ini karena posisi sebagai ketua ASEAN merupakan posisi yang sangat strategis, khususnya dalam membangun konsensus, mempersiapkan agenda, dan melakukan resolusi konflik dan mediasi diplomatik,” papar Johanes.
Menurutnya, kedekatan antara Malaysia dengan RRC menjadi salah satu kunci dari keberhasilannya sebagai ketua ASEAN tahun ini dalam memediasi konflik yang terjadi antara Thailand dan Kamboja.
Namun ia mengingatkan bahwa keberhasilan itu merupakan buah dari upaya perimbangan yang dilakukan Malaysia, baik dalam menjaga kedekatan dengan RRC maupun dengan kekuatan-kekuatan lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat (AS).
Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa upaya menjaga perimbangan hubungan dengan berbagai kekuatan besar adalah sangat penting. Meski demikian, dalam pandangan Johanes, kedekatan yang berlebihan dengan RRC juga berpotensi menyebabkan ASEAN menjadi lemah, khususnya dalam ketegangan-ketegangan yang secara langsung melibatkan RRC.
“Misalnya, ASEAN mengalami kesulitan untuk bersuara lantang menghadapi China ketika negara itu melakukan tindakan agresif melalui kapal-kapal penjaga pantainya terhadap Filipina,” pungkasnya.
Baca Juga: 10 Tahun Lalu China Industri Otomotif Belum Sebombastis Sekarang yang Punya Ratusan Produsen Mobil
Dalam pandangan Eva Kurniati Situmorang, diplomat ahli madya yang bertugas pada Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, ASEAN memang mengambil pendekatan pragmatik yang berupaya menjaga hubungan baik bukan hanya dengan China tetapi juga dengan kekuatan-kekuatan besar lainnya.
Menurut Eva, Indonesia sepenuhnya mendukung kepemimpinan Malaysia sebagai ketua ASEAN, yang dalam pandangannya sangat berkomitmen untuk memperkuat sentralitas ASEAN, meningkatkan perdagangan dan investasi antar negara ASEAN dan memperkuat inklusifivitas dan keberlangsungan dalam kawasan ASEAN.
Perihal hubungan antara kawasan Asia Tenggara dan RRC, Eva mengakui bahwa terdapat keuntungan dan resiko dari upaya RRC menanamkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Resep mujarab untuk mengatasi resiko itu adalah dengan tidak bergantung pada pihak mana pun, tetapi justru makin memperkuat sentralitas ASEAN.
“Indonesia berkomitmen pada Sentralitas ASEAN, dan percaya bahwa mekanisme yang dipimpin ASEAN merupakan kerangka kerja terbaik dalam menghadapi tantangan-tantangan dari luar,” pungkas Eva.
Profesor dari Departmen Ilmu Politik National University of Singapore, Ian Chong, mengingatkan bahwa RRC yang dihadapi oleh Asia Tenggara saat ini berbeda dari RRC pada era 1990-an. “Kita harus berurusan dengan RRC karena kedekatan jarak dengan kawasan kita. Ini adalah hal yang harus dihadapi oleh siapapun yang menjadi ketua ASEAN,” tutur Ian.
Baca Juga: Meski Ditekan Trump, China Optimistis Pertahankan Pertumbuhan Ekonomi
Menurutnya, salah satu isu yang kompleks dan harus dihadapi ASEAN dalam kaitan dengan China adalah sengketa di LCS. “Memang, telah terjadi dialog antara masing-masing pihak, dan telah berlangsung diskusi terus menerus tentang kode perilaku, tetapi saya menduga belum akan ada penyelesaian segera,” tuturnya.
Dalam pandangan Ian, salah satu yang mempekeruh permasalahan adalah keputusan RRC untuk tidak menghargai hasil keputusan arbitrase internasional tahun 2016, walau RRC adalah salah satu dari negara-negara yang menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Padahal, menurutnya, ini menimbulkan permasalahan karena bagi negara-negara Asia Tenggara, kepastian dan kejelasan hukum merupakan salah satu kunci yang diandalkan untuk memaksa negara-negara besar lebih menahan diri.
Pemerhati Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, memiliki pandangan yang sedikit berbeda namun menarik. Menurutnya, China tak akan mampu memaksa ASEAN untuk mengambil sebuah keputusan bulat yang akan membahayakan kepentingan mereka sendiri.
Karenanya, Broto beranggapan bahwa strategi pragmatis yang paling tepat bagi China adalah menjaga status quo. Broto mengakui bahwa kehadiran dan pengaruh China di Asia Tenggara memang meningkat, namun kompleksitas yang mewarnai pengambilan keputusan di ASEAN justru menjadi penghambat yang menghalangi China untuk memaksa ASEAN mengambil keputusan dengan suara bulat.
Namun Broto juga mengomentari politik luar negeri Indonesia yang akhir-akhir ini menurutnya telah bergeser dari kebijakan yang berpusat pada ASEAN menjadi kebijakan luar negeri yang makin beragam.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Advertisement