Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengungkapkan arah perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan pada 2026 mendatang.
Dirinya mengatakan Kementerian PPPA pada 2026 akan berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti aparat penegak hukum, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga layanan untuk menyelesaikan persoalan di tingkat hulu, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran.
Baca Juga: Peluang Perempuan Berkembang dalam Ekonomi Kreatif Semakin Terbuka
Ini disampaikan Menteri PPPA dalam Konferensi Pers: “Capaian Kemen PPPA Selama Satu Tahun”, di Jakarta, Senin (27/10/2025).
"Saat ini, kami melakukan koordinasi cepat apabila terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di berbagai daerah di Indonesia, terutama dengan dinas pengampu urusan perempuan dan anak setempat untuk melakukan pendampingan, penjangkauan, dan penyediaan rumah aman jika dibutuhkan. Namun, setelah kami analisis selama setahun ini, kami tidak ingin hanya menjadi pemandam kebakaran, tapi menyelesaikan di tingkat hulunya," ujarnya, dikutip dari siaran pers Kemen PPPA, Selasa (28/10).
Menteri PPPA mencontohkan salah satu kasus yang mendapat perhatian Kemen PPPA adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), terhadap dua anak perempuan dan satu perempuan dewasa. Pengadilan telah menjatuhkan vonis 19 tahun penjara, denda Rp5 miliar, restitusi Rp359 juta, serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap pelaku. Putusan ini menjadi bukti nyata komitmen negara dalam memberikan efek jera dan memastikan keadilan bagi korban.
Selain itu, Kemen PPPA juga mengawal sejumlah kasus kekerasan lain yang terus diproses secara hukum, di antaranya:
1. Kasus kekerasan terhadap anak MK (7 tahun) oleh ibu kandung dan ibu tiri. Melalui kolaborasi multipihak, Kemen PPPA memastikan proses pemulihan psikososial korban dan mempertemukannya kembali dengan keluarga;
2. Kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap anak (11 tahun) di Cilincing, Jakarta Timur dengan pelaku anak (16 tahun). Kemen PPPA pun berkoordinasi dengan Polres Metro Jakarta Utara, Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DKI Jakarta untuk memastikan penanganan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA);
3. Kasus pembunuhan ayah dan nenek oleh Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) MAS (14 tahun) di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, di mana pelaku telah ditempatkan di Sentra Mulya Jakarta untuk menjalani pembinaan dan rehabilitasi;
4. Kasus kekerasan seksual terhadap anak (14 tahun) oleh enam ABH di Karawang, Jawa Barat, yang menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan di luar peradilan melalui diversi, mediasi, atau perdamaian keluarga;
5. Kemen PPPA mengecam keras praktik perkawinan anak yang viral di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), karena merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan adat maupun budaya;
6. Kemen PPPA meminta penindakan tegas terhadap pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan kasus pornografi anak di grup Facebook “Fantasi Sedarah”;
7. Kasus pencabulan terhadap empat anak oleh teman sebaya (8 tahun) di Bekasi, Jawa Barat;
8. Kasus kekerasan seksual terhadap 17 perempuan dan anak oleh seorang pria difabel di Mataram, NTB, di mana pelaku telah divonis 10 tahun penjara;
9. Kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 2 tahun oleh ayah kandungnya di Balikpapan, Kalimantan Timur, dengan pelaku telah dituntut 7 tahun penjara;
10. Kasus penyiraman air keras terhadap mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan pelaku telah divonis 11 tahun penjara;
11. Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus seperti di Universitas Udayana dan Universitas Pancasila; dan
12. Kasus persetubuhan terhadap anak oleh 12 pelaku (empat di antaranya anak) di Cianjur, Jawa Barat, dan kekerasan seksual terhadap anak oleh ayah tiri di Sragen, Jawa Tengah.
Dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Menteri PPPA menggarisbawahi pentingnya peningkatan kolaborasi lintas pihak untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Saat ini kami melakukan pemenuhan hak anak dan perempuan untuk mendapatkan perlindungan. Tahun selanjutnya, kami sudah merencanakan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan media, kementerian/lembaga, organisasi masyarakat, serta mitra-mitra yang bisa berkoordinasi untuk mencari solusi terbaik dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,” tutur Menteri PPPA.
Menteri PPPA menjelaskan, Kemen PPPA telah mengidentifikasi lima faktor utama penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak, yaitu faktor ekonomi; pola asuh keluarga; pengaruh gawai dan media sosial; lingkungan; serta faktor budaya, khususnya dalam kasus praktik perkawinan anak yang menjadi akar kekerasan dan kemiskinan struktural. Oleh karena itu, Kemen PPPA meluncurkan program Ruang Bersama Indonesia (RBI) sebagai salah satu solusi pencegahan dari tingkat hulu terhadap kekerasan perempuan dan anak.
“Kami melihat hubungan antaranggota masyarakat sudah semakin berjarak karena pengaruh gawai. Kebersamaan untuk membangun solidaritas sudah semakin menjauh di lingkungan masyarakat kita. Harapannya, melalui program ini kita bisa mengikat kembali rasa solidaritas, persaudaraan di tingkat desa,” pungkas Menteri PPPA
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Advertisement