Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Gelar Pahlawan Soeharto, Akademisi IAIN Ternate: Jadilah Bangsa Pemaaf

Polemik Gelar Pahlawan Soeharto, Akademisi IAIN Ternate: Jadilah Bangsa Pemaaf Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dari ujung timur Nusantara, akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Dr. Arwan M. Said, menyampaikan pandangan yang menyejukkan di tengah hangatnya perdebatan tentang wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, HM Soeharto.

Menurut Arwan, perdebatan tentang masa lalu memang tidak bisa dihindari, tetapi bangsa yang dewasa seharusnya mampu menempatkan sejarah secara utuh, tidak hanya melihat luka, tetapi juga menghargai jasa.

“Bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mampu memaafkan. Luka sejarah memang ada, tapi tidak boleh menutup pandangan kita terhadap jasa seseorang. Soeharto punya kontribusi nyata dalam pembangunan, stabilitas, dan penguatan kedaulatan bangsa,” ujar Arwan kepada wartawan, Sabtu (8/11/2025).

Baca Juga: Kenang Jasa Pembangunan Infrastruktur hingga Swasembada Pangan Era Soeharto, Ketua Partai PBB Teluk Bintuni Ajak Putus Rantai Dendam

Arwan menegaskan, penolakan terhadap wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebaiknya tidak dilihat dari kacamata emosional pribadi, melainkan melalui pertimbangan objektif terhadap pengabdian dan kontribusinya bagi Indonesia.

“Kita tidak sedang menulis ulang sejarah, tetapi sedang belajar darinya. Menghormati jasa bukan berarti melupakan kesalahan. Justru dari pengakuan itulah kedewasaan bangsa diuji,” tambahnya.

Menanggapi pernyataan Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, yang menolak wacana tersebut karena pengalaman masa lalu keluarganya, Arwan menyampaikan empati, tetapi juga mengingatkan pentingnya sikap kenegarawanan.

“Saya menghormati Ibu Megawati sebagai tokoh bangsa dan saksi sejarah. Namun, seorang negarawan harus mampu menempatkan pengalaman pribadi dalam bingkai kepentingan yang lebih besar, yakni persatuan bangsa dan penghargaan terhadap seluruh tokoh yang telah berjasa,” jelasnya.

Arwan menilai, perbedaan pandangan tentang sejarah adalah hal wajar dalam kehidupan berbangsa. Namun, yang berbahaya adalah ketika perbedaan itu diwariskan sebagai dendam kepada generasi berikutnya.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Soeharto, Presiden yang Paling Disukai

“Kita tidak boleh mewariskan luka, tapi kebesaran hati. Anak-anak bangsa harus belajar menghargai semua pemimpin, baik Soekarno, Soeharto, maupun yang lain, karena mereka semua bagian dari perjalanan kita menuju kemerdekaan yang sesungguhnya,” katanya.

Ia menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional bukan soal politik atau popularitas, melainkan keputusan negara yang berdasar pada pengabdian dan jasa nyata bagi rakyat.

“Kalau kita bisa menghargai jasa setiap pemimpin tanpa kehilangan daya kritis, itulah tanda bangsa yang matang dan beradab,” pungkas Arwan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: