Saksi Ahli: Kasus LPEI–Petro Energy Tidak Seharusnya Dikriminalisasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Berpotensi Ganggu Iklim Investasi
Kredit Foto: Istimewa
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus kembali menggelar sidang pemeriksaan saksi ahli dalam perkara dugaan tindak pidana terkait pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) . Perkara ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yakni Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan), serta Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Sidang yang tersebut menghadirkan dua saksi ahli dari Terdakwa II dan III. Keduanya merupakan ahli terkemuka dari bidang hukum, yakni Dr. Chairul Huda, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) sekaligus pakar hukum pidana, serta Prof. Hadi Shubhan, akademisi dari Universitas Airlangga (UNAIR) dan pakar hukum kepailitan serta hukum bisnis. Mereka memberikan keterangan yang menegaskan bahwa perkara antara LPEI dan Petro Energy seharusnya ditempatkan dalam ranah hukum perdata dan kepailitan, bukan pidana korupsi.
Kepailitan Bertujuan untuk Pemulihan, Bukan Pemidanaan
Dalam penjelasannya, Prof. Hadi Shubhan mengatakan bahwa sistem hukum kepailitan di Indonesia bertujuan untuk recovery atau pemulihan posisi kreditur dan debitur, bukan untuk menghukum. Ia menegaskan bahwa utang yang timbul dari hubungan pembiayaan dapat diambil alih atau dijamin oleh pihak ketiga, bahkan setelah debitur dinyatakan pailit, tanpa memerlukan persetujuan kurator.
“Tugas kurator hanya mengurus dan membereskan harta debitur, bukan kewajiban atau utang. Jika ada pihak ketiga yang mau membayar, itu justru bentuk itikad baik yang luar biasa,” ujar Hadi.
Ia menambahkan, tingkat recovery rate dalam perkara kepailitan di Indonesia hanya sekitar 11,8%, sehingga jika ada inisiatif dari pihak ketiga untuk melunasi kewajiban debitur merupakan langkah positif yang patut diapresiasi, bukan dikriminalisasi.
Prof. Hadi Shubhan juga menekankan bahwa pailit tidak menghapus kewajiban pembayaran, dan terlebih sudah ada proses restrukturisasi atau perdamaian antara pihak-pihak terkait, maka proses pidana seharusnya menunggu penyelesaian perdata selesai. Ia membandingkan dengan kasus restrukturisasi Garuda Indonesia, di mana penyelamatan melalui mekanisme PKPU menjadi bukti bahwa penyelesaian perdata dapat memberikan manfaat ekonomi nasional.
Sejalan dengan keterangan Prof. Hadi Subhan, Dr. Chairul Huda menjelaskan bahwa esensi dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sejatinya adalah pengembalian/recovery uang negara. Sehingga, hukum pidana seharusnya menjadi source terakhir (ultimum remedium), jika penyelesaian secara perdata dan administrasi gagal dilaksanakan.
Audit Diterbitkan Setelah Penetapan Tersangka
Sementara itu, Dr. Chairul Huda menyoroti aspek formil dalam proses penetapan tersangka. Ia menilai ada kejanggalan dalam tahapan penyidikan karena Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP diterbitkan setelah penetapan tersangka dilakukan, padahal hasil audit merupakan salah satu alat bukti penting dalam perkara dugaan kerugian keuangan negara.
Dalam perkara sektor keuangan, Chairul menegaskan bahwa seharusnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran di sektor jasa keuangan, bukan BPKP. “Dalam tindak pidana korupsi, kerugian negara harus dibuktikan dengan hasil audit resmi. Jika audit baru muncul setelah penetapan tersangka, berarti penetapan tersebut tidak memiliki dasar bukti yang relevan,” jelas Chairul.
Ia juga menyoroti ketidakseimbangan penuntutan antara pihak swasta dan penyelenggara negara. Menurutnya, secara prinsip hukum pidana, pelaku utama atau pihak penyelenggara negara seharusnya dituntut terlebih dahulu, kecuali dalam kondisi tertentu seperti kekebalan diplomatik atau status buron.
Itikad Baik dan Tanggung Jawab Korporasi
Chairul juga menegaskan bahwa tindakan pihak ketiga yang mengambil alih dan mencicil utang merupakan bukti itikad baik, bukan perbuatan melawan hukum. Dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi, ia menjelaskan bahwa seseorang baru bisa dimintai tanggung jawab pribadi jika terbukti melampaui kewenangan sesuai Anggaran Dasar dan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
“Orang yang punya itikad baik tidak mungkin punya mens rea atau niat jahat. Justru tindakan membayar dan mengambil alih utang menunjukkan tanggung jawab, bukan kejahatan,” ujarnya.
Kedua ahli hukum tersebut sepakat bahwa jalur pidana dalam kasus ini berpotensi mengganggu kepastian hukum bisnis dan menimbulkan dampak negatif terhadap iklim investasi dan keuangan nasional. “Hukum pidana adalah ultimum remedium yaitu jalan terakhir, bukan alat utama. Kalau masih bisa diselesaikan melalui restrukturisasi dan itikad baik, seharusnya negara mendukung pemulihan, bukan menghukum,” tutup Prof. Hadi
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sufri Yuliardi
Advertisement