Perkuat Tata Kelola Ekspor Perikanan, Pemerintah Dorong Sinkronisasi HS Code untuk Tingkatkan Nilai Tambah Nasional
Kredit Foto: KKP
Landasan hukum terkait pengolahan hasil perikanan telah diatur dalam UU No. 31/2004, UU No. 45/2009, dan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Aturan tersebut menegaskan bahwa hasil perikanan harus melewati proses pengolahan terlebih dahulu sebelum diekspor demi menciptakan nilai tambah nasional, memperkuat industri pengolahan, menambah lapangan kerja, dan menjaga keberlanjutan stok ikan.
Namun, kebijakan larangan ekspor ikan tuna utuh (whole round) ini justru sering dilanggar karena sistem klasifikasi barang yang tidak detail. Tuna Skipjack atau Bonito Whole Round masih bisa keluar menggunakan HS Code 03034300, padahal kode itu seharusnya untuk produk olahan seperti frozen tuna, loin, atau flake.
"Dengan sedikit perubahan nomenklatur seperti precooked, frozen stripped, atau flake, ikan utuh itu bisa terkode sebagai produk olahan, padahal secara fisik belum memenuhi kriteria processed fish product," kata Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Sabtu (15/11/2025).
IAW mengungkap adanya penggunaan satu kode khusus dalam sistem Bea Cukai yang memungkinkan ekspor ikan tuna utuh berlangsung selama bertahun-tahun dan menimbulkan kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Celah pada HS Code 03034300 tersebut disebut sebagai pintu utama praktik legal smuggling yang membuat pengawasan negara tidak efektif dan industri pengolahan domestik kehilangan nilai tambah besar.
Meski Indonesia dikenal sebagai eksportir tuna terkemuka dunia, sebagian besar tuna yang dikirim keluar negeri oleh 10 perusahaan berinisial PT PBN dan PT GEM justru diekspor dalam bentuk whole round. Produk yang seharusnya dilarang ekspornya ini bisa lolos berkat klasifikasi barang yang terlalu generik dan tidak memisahkan bentuk utuh, potongan, maupun produk olahan.
"Itulah pintu hukum terbuka bagi praktik legal smuggling, ketika regulasi tertulis kalah oleh kelemahan teknis di sistem. Dari sini terlihat institusi (Bea Cukai) yang baru dikomandoi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dari lapangan Banteng Jakarta Pusat tersebut nyata-nyata gagal!" kata Iskandar.
IAW menilai Bea Cukai tidak menjalankan post audit secara memadai atas seluruh ekspor tuna dengan HS Code 03034300, termasuk tidak melakukan mitigasi risiko melalui pemeriksaan fisik atau penyesuaian kode.
"Kalau Pak Purbaya di Tanjung Perak, beliau tak akan sulit menemukan temuan besar yang tersembunyi di balik layar ekspor ikan tuna utuh," tegasnya.
Permen KP No. 18/2021 mempertegas bahwa pengolahan di dalam negeri adalah syarat ekspor. Namun implementasinya tersendat karena Bea Cukai masih menggunakan BTBMI dengan struktur kode yang terlalu umum. Kode 03034300 hanya menyebut “Tuna, Skipjack, dan Bonito” tanpa memisahkan bentuk produk.
UU Kepabeanan No. 17/2006 sebenarnya mewajibkan klasifikasi barang dilakukan akurat sesuai standar WCO. IAW menilai Indonesia tertinggal karena tidak memecah HS Code menjadi sub-pos sebagaimana diterapkan negara lain.
"Negara lain seperti Jepang atau Thailand sudah memecah kode tuna ke sub-pos spesifik (misal: whole, loin, flake). Indonesia? Satu kode untuk semua. Akibatnya, laporan ekspor sah di sistem, tapi melanggar semangat hukum," tutur Iskandar.
Selain itu, kelemahan koordinasi antara KKP, Bea Cukai, dan Karantina Ikan menunjukkan adanya maladministrasi struktural. Ketiga lembaga bekerja terpisah dan tidak memiliki integrasi data yang memadai.
"Tidak ada integrasi data yang menyatukan semuanya. Aparat hukum seakan lumpuh tidak mumpuni mencermati perilaku jahat tersebut!" ungkapnya.
Baca Juga: Status Objek Vital Nasional Pelabuhan Perikanan Bukan Sekadar Pengakuan
Situasi ini membuat pelabuhan besar seperti Tanjung Perak menjadi contoh nyata ketidaktegasan sistem. Kebijakan nasional mengharuskan pengolahan dalam negeri, namun HS Code yang terlalu longgar justru memfasilitasi keluarnya ikan utuh tanpa olahan. Akibatnya, negara gagal meraih nilai tambah triliunan rupiah setiap tahun, sementara industri pengolahan dalam negeri kekurangan pasokan bahan baku.
BPK juga menemukan masalah serupa dalam sepuluh tahun terakhir: PNBP perikanan rendah, pungutan ekspor tidak optimal, dan nilai ekspor tidak sesuai kondisi riil barang. Rekomendasi BPK berulang kali meminta sinkronisasi data dan perbaikan klasifikasi produk.
Laporan BPK atas LKPP serta laporan KKP menunjukkan sistem elektronik antar lembaga tidak saling terhubung. INSW Bea Cukai tidak sinkron dengan SIKPI/SIPI milik KKP sehingga PEB bisa lolos meski tidak sesuai izin tangkap.
Pengawasan fisik di lapangan juga dinilai lemah. Audit BPK di pelabuhan Tanjung Perak, Benoa, dan Bitung menunjukkan minimnya inspeksi, kurangnya SDM, tidak adanya CCTV terintegrasi, dan lemahnya verifikasi bentuk fisik barang.
Kasus ekspor benih lobster menjadi contoh bagaimana celah teknis dapat menembus regulasi larangan. IAW menilai pola serupa juga terjadi pada ekspor tuna utuh melalui manipulasi kode barang.
IAW menegaskan terdapat ketidaksinambungan antara kebijakan dan pelaksanaan. HS Code 03034300 berubah menjadi “kode serba guna” yang memungkinkan penyelundupan administratif terjadi tanpa hambatan.
"Kegagalan koordinasi lintas lembaga membuat data tidak saling mengunci dan membuka peluang misdeclaration. Kerugian negara bersifat multidimensi karena hilangnya PNBP, pajak, nilai tambah industri, serta peluang kerja ribuan orang. Dampaknya menjalar hingga rantai ekonomi nasional," jelasnya.
Untuk jangka pendek, IAW meminta Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik 100% terhadap seluruh ekspor dengan HS Code 03034300 dengan melibatkan BKIPM dan KKP. KKP juga diminta memverifikasi ulang izin ekspor dan memastikan perusahaan pengolah benar-benar beroperasi.
Dalam jangka menengah, BTBMI perlu diperbarui agar HS Code dipecah menjadi sub-pos lebih rinci: 03034301 (Tuna Whole Round), 03034302 (Tuna Loin), 03034303 (Tuna Flake), dan 03034304 (Tuna Meal).
"Agar kebijakan industri dan kepabeanan saling mendukung. Integrasi sistem elektronik dengan menghubungkan PEB Bea Cukai langsung dengan SIKPI KKP agar setiap data ekspor diverifikasi otomatis," ujarnya.
Sementara dalam jangka panjang, IAW mendorong BPK melakukan audit khusus bertajuk “Efektivitas Pengawasan Ekspor Hasil Perikanan dalam Rangka Peningkatan PNBP dan Nilai Tambah” yang mencakup kinerja 5–20 tahun terakhir, termasuk audit pelabuhan utama dan penataan ulang HS Code secara tegas.
Baca Juga: KKP Tekankan Peran Penting Syahbandar Bagi Operasional Pelabuhan Perikanan
"Pembentukan Satgas lintas Kementerian, bertugas mengawasi komoditas strategis (ikan, lobster, rumput laut, dll.) dengan sistem data real-time lintas lembaga. Juga untuk memisahkan HS Code menjadi sub-sub pos sehingga menjadi semakin tegas!" tegas Iskandar.
Menurut IAW, persoalan ekspor tuna utuh mencerminkan kegagalan negara menutup celah teknis dalam sistem hukum dan pengawasan. Regulasi sudah ada, namun perangkat pengawasan tidak cukup kuat untuk menjaga nilai tambah ekonomi nasional.
Di Tanjung Perak saja, potensi kerugian mencapai Rp2–5 triliun per tahun, dan secara nasional kerugian minimal mencapai Rp100 triliun. Praktik ini bahkan dinilai berkaitan dengan eksploitasi manusia.
IAW menegaskan bahwa jika rekomendasi terhadap BPK, Bea Cukai, KKP, dan aparat hukum diikuti, Indonesia dapat menghentikan kerugian dan menjaga nilai tambah lautnya. Ekspor tuna utuh tidak boleh terus berjalan legal di dokumen tetapi merugikan negara.
"Negara tidak boleh kalah hanya karena oknum pemangku kepentingan menunggangi kewenangan yang diamanatkan kepadanya!" pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement