Kredit Foto: Istimewa
Badan Pengkajian MPR Kelompok III menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Desentralisasi, Otonomi Daerah, Pemerintahan Daerah dan Desa, di Bekasi, Jumat (21/11/2025). FGD ini membahas beberapa isu penting, yaitu terkait dengan pemerintahan daerah (pasal-pasal dalam Bab VI UUD NRI Tahun 1945).
“Apakah (pasal-pasal dalam Bab VI UUD NRI Tahun 1945) sudah cukup ideal, apakah masih relevan sampai saat ini, atau apakah memerlukan penajaman baik tafsir maupun penyesuaian,” kata Dr. Hj. Hindun Anisah, MA, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI yang memimpin FGD ini.
FGD Kelompok III Badan Pengkajian MPR ini diikuti anggota Badan Pengkajian MPR antara lain Dr. Hj. Ida Fauziyah (Fraksi PKB), Jialyka Maharani, S.I.Kom. (anggota DPD), Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH (Fraksi PDI Perjuangan), dan Yance Samonsabra, SH, M.Si (anggota DPD). Dua narasumber dalam FGD ini adalah Prof. Dr. Wicipto Setiadi, SH, MH (Guru Besar FH UPNVJ) dan Dr. Sri Budi Eko Wardani, M,Si (Departemen Ilmu Politik FISIP UI).
Dalam pengantarnya, Hindun Anisah mengungkapkan isu lain terkait hubungan pusat dan daerah. “Konstitusi kita menegaskan adanya hubungan yang seimbang baik dari sisi kewenangan, kelembagaan, keuangan, maupun pengawasan. Tetapi pada praktiknya masih terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.
FGD juga membahas mengenai desa. “Pasal 18B dalam konstitusi menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Memang belum ada eksplisit dicantumkan istilah desa. Apakah ini sudah cukup dan apakah juga pengaturan mengenai desa belum ditulis eksplisit di Pasal 18B benar-benar sudah mencerminkan komitmen negara dalam memperkuat pemerintahan di tingkat paling bawah,” katanya.
Isu lain terkait dengan persoalan dualisme dalam pengaturan desa. Di satu sisi desa dipandang sebagai entitas sosiologis dan kultural yang harus dilestarikan, namun di sisi lain desa juga ditempatkan sebagai bagian dari struktur pemerintahan.
“Dualisme ini dapat menimbulkan problem kelembagaan karena kemudian desa diurus lebih dari satu kementerian, bahkan tiga empat kementerian yang mengurus desa, sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan dan duplikasi program,” jelasnya.
Sistem pemilihan kepala daerah juga menjadi isu dalam FGD ini. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat 4 bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. “Demokratis ini seperti apa, apakah demokrasi langsung, ataukah selain pilkada langsung bisa diterjemahkan sebagai demokratis. Kenapa? Karena Pilkada baru-baru ini, persoalan yang timbul mulai dari ongkos politik yang tinggi, polarisasi sosial, maupun efektivitas hubungan hierarkis antara pemerintah kabupaten kota dan provinsi masih menjadi problem,” imbuhnya.
Dalam paparannya dengan judul “Pengaturan Ideal Hubungan Pusat dan Daerah sesuai UUD NRI Tahun 1945”, Prof. Dr. Wicipto Setiadi menyebutkan ada empat aspek dalam pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah, yaitu aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan.
Dalam aspek kewenangan, misalnya, permasalahan yang ditemui adalah pembagian urusan antara pusat dan daerah sering tumpang tindih, penarikan kembali urusan tertentu oleh pusat menimbulkan ketidakpastian, dan banyak urusan “konkuren” tidak dilengkapi dengan standar yang jelas.
“Untuk itu pengaturan ideal yang harus dilakukan adalah penyempurnaan pembagian urusan pemerintahan dengan kriteria terukur meliputi akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional. Selain itu, perlu penguatan otonomi substansi daerah bukan hanya administrasi. Juga standarisasi layanan publik sebagai acuan nasional tetapi tetap fleksibel bagi daerah untuk menyesuaikan konteks lokal, serta evaluasi periodik terhadap efektivitas pembagian kewenangan melalui mekanisme konstitusional,” paparnya.
Sementara itu, Sri Budi Eko Wardani menyebutkan desentralisasi merupakan fenomena global. “Dewasa ini, World Bank mengobservasi bahwa desentralisasi telah menjadi fenomena global dan regional. Lebih dari 60 pemerintahan di dunia, utamanya di negara berkembang, telah menerapkan desentralisasi dalam berbagai bentuknya sejak 1980-an,” ungkapnya.
Menurut Sri Budi, gagasan desentralisasi tidak terlepas dari perkembangan demokrasi sehingga desentralisasi memang sudah seharusnya. “Berbicara tentang desentralisasi, demokrasi, dan liberalisasi, merupakan satu kelompok keluarga atau rumpun. Dengan desentralisasi maka terjadi transfer kewenangan atau power, responsibility, dan resources,” katanya.
“Seperti keuangan adalah mentransfer power finansial dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah. Namun, persoalannya, sejauh mana komitmen pemerintah pusat mentransfer power atau kewenangan kepada daerah,” katanya lagi.
Dalam FGD ini, I Wayan Sudirta menegaskan bahwa persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sudah banyak diketahui dan solusi untuk mengatasi persoalan itu pun sudah ada, “Tapi persoalannya adalah kalau tidak ada kemauan politik atau political will, tetap saja tidak ada perubahan. Jadi, ini persoalan political will atau kemauan politik dari orang-orang yang mengurus negara ini belum mendukung desentralisasi dan otonomi daerah,” ujarnya.
Menjawab pernyataan itu, Wicipto mengatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 telah memberi arahan tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Peraturan undang-undangnya pun sudah ada. Persoalannya, desentralisasi dan otonomi daerah belum sepenuhnya dijalankan. Wicipto sependapat bahwa persoalannya ada di peraturan pelaksanaan dan political will.
“UUD NRI Tahun 1945 atau konstitusi sudah memberi arahan yang cukup baik tentang pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, persoalannya ada pada peraturan pelaksanaan dan political will yang belum sepenuhnya melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah seperti yang diarahkan dalam konstitusi,” katanya.
Dia menyebutkan masih adanya regulasi sektoral, ego sektoral, dan ego daerah yang mengganggu pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. “Untuk pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, political will adalah faktor penentu. Political will itu harus ditunjukkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga DPR dan DPRD,” ujarnya
“Buat apa regulasi sudah baik, tapi tidak ada political will yang mengarah pada desentralisasi dan otonomi daerah. Sekarang malah ada sentralisasi yang terselubung dengan regulasi-regulasi sektoral yang sudah ada di daerah ditarik kembali ke pusat,” imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement