Indonesia Tegaskan COP30 Harus Jadi Fondasi Implementasi, Bukan Sekadar Komitmen
Kredit Foto: KLH
Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Belém, Brasil, resmi ditutup dengan menegaskan bahwa fase baru implementasi Perjanjian Paris hanya dapat berjalan dengan dukungan pendanaan berbasis hibah, akses teknologi yang terjangkau, dan mekanisme transisi berkeadilan yang melindungi kepentingan negara berkembang.
Delegasi Indonesia yang dipimpin KLH/BPLH menekankan bahwa keputusan COP30 harus menjadi fondasi aksi global, bukan sekadar kompilasi komitmen politik.
Dalam pernyataan penutup, Indonesia menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Brasil dan Sekretariat UNFCCC, sekaligus menegaskan bahwa COP30 menjadi momentum penting untuk memperkuat langkah “moving from ambition to action.” Delegasi Indonesia menilai bahwa keberhasilan konferensi tidak lagi ditentukan oleh jumlah keputusan yang diadopsi, tetapi oleh kemampuan global memastikan implementasi yang terukur, adil, dan menyeluruh.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH, Ary Sudijanto, mengatakan KLH/BPLH menegaskan dukungan internasional berbasis hibah, akses teknologi, dan peningkatan kapasitas merupakan prasyarat bagi negara berkembang untuk memenuhi mandat global.
Baca Juga: KLH/BPLH Libatkan Masyarakat Sipil Perkuat Aksi Iklim Indonesia di COP30
“Implementasi tanpa dukungan nyata adalah retorika; kami menuntut pendanaan hibah, transfer teknologi, dan mekanisme yang adil agar negara berkembang dapat menerjemahkan komitmen menjadi aksi di lapangan,” ujar Ary dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (25/11/2025).
Ary mengatakan, Indonesia menyoroti sejumlah capaian dan prioritas selama COP30. Pada isu Global Goal on Adaptation (GGA), Indonesia menegaskan komitmen mempercepat implementasi indikator adaptasi yang sederhana, terukur, dan fleksibel sesuai konteks nasional.
Delegasi Indonesia menekankan bahwa indikator GGA tidak boleh menjadi beban administratif bagi negara berkembang dan menyerukan agar pembahasan terminologi seperti transformational adaptation tidak mengaburkan tujuan utama memperkuat ketahanan masyarakat melalui aksi konkret.
Pada isu gender dan perubahan iklim, Indonesia menyambut adopsi Belem Gender Action Plan (GAP) 2026–2034 sebagai capaian penting untuk memastikan kebijakan iklim yang inklusif. Indonesia menegaskan bahwa implementasi GAP harus melalui proses nasional dan menghormati hukum domestik serta prinsip CBDR-RC.
Baca Juga: KLH/BPLH Genjot Kerja Sama Iklim, 44 Proyek Karbon Dipromosikan di COP30
Delegasi Indonesia menyampaikan keberatan terhadap sejumlah terminologi yang dinilai tidak sesuai kerangka kebijakan nasional, termasuk penggunaan gender and age-disaggregated data. Meski demikian, Indonesia menegaskan komitmen memperkuat integrasi gender melalui RAN-GPI 2024–2030 guna memastikan perempuan dan kelompok rentan merasakan manfaat kebijakan iklim.
“Indonesia tetap berkomitmen mendukung implementasi Belem Gender Action Plan, dengan pemahaman bahwa pelaksanaannya harus didorong oleh proses nasional dan selaras dengan hukum yang berlaku,” tegas Ary.
Untuk agenda Just Transition, Indonesia menegaskan bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon harus berlangsung adil, tidak menambah beban utang, dan didukung hibah yang dapat diprediksi. Indonesia bersama G77 and China mendorong pembentukan UNFCCC Just Transition Mechanism agar tidak terjadi tindakan unilateral yang merugikan negara berkembang.
Dalam pembahasan Article 6, Indonesia menekankan pentingnya pendanaan untuk kesiapan teknis dan registri internasional agar mekanisme pasar dan non-pasar dapat berjalan dengan integritas. Indonesia juga menyoroti urgensi transisi proyek CDM ke dalam kerangka Article 6 guna memberi kepastian bagi pelaku usaha dan menjaga konsistensi integritas pasar karbon global.
Baca Juga: Dua Pesut Mahakam Mati, KLH/BPLH Turun Tangan Awasi Tiga Perusahaan
Di bidang pendanaan, Indonesia menyerukan reformasi arsitektur keuangan internasional untuk memastikan dukungan yang dapat diprediksi, berbasis hibah, dan tidak membebani negara berkembang. Indonesia kembali menegaskan target pembiayaan iklim global sebesar USD 1,3 triliun per tahun pada 2035, termasuk USD 300 miliar untuk negara berkembang, serta mendesak tripling pembiayaan adaptasi menuju 2030 menjadi sedikitnya USD 120 miliar per tahun.
Indonesia menegaskan bahwa Global Stocktake harus menghasilkan aksi konkret melalui dialog terstruktur, peningkatan kapasitas, akses teknologi, dan dukungan finansial. Dalam konteks ini, Indonesia menekankan pentingnya penguatan Climate Technology Centre (CTC) dan peluncuran Technology Implementation Programme (TIP) agar teknologi dapat diakses secara nyata oleh negara berkembang.
Dengan berakhirnya COP30, Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan kembali kesiapan Indonesia bekerja secara konstruktif untuk memastikan mobilisasi pembiayaan, teknologi, dan kapasitas dapat diwujudkan efektif.
Baca Juga: KLH/BPLH Luncurkan Pos Pengaduan untuk Percepat Respons Isu Lingkungan
“Keputusan COP30 harus menjadi pijakan kuat bagi aksi nyata yang melindungi masyarakat, memperkuat ketahanan nasional, dan memastikan transisi menuju pembangunan rendah karbon berlangsung secara adil, inklusif, dan berkelanjutan tanpa ada pihak yang tertinggal,” tegas Hanif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Advertisement