Kredit Foto: Cita Auliana
Pemerintah resmi memasukkan kakao sebagai salah satu komoditas strategis yang dinilai mampu mendorong perekonomian nasional. Namun, di lapangan, industri kakao nasional masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat peningkatan produktivitas.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia, Soetanto Abdoellah, memaparkan bahwa penurunan areal produksi menjadi salah satu masalah utama yang kini dihadapi industri.
"Tantangannya adalah areal produksi kakao kita menurun, tidak hanya kita tetapi semua Asia," kata Soetanto dalam Press Tour Kontribusi Kakao untuk APBN dan Perekonomian di Bali, Selasa (24/11/2025).
Baca Juga: Belasan Pabrik Kakao Tutup, BPDP Beberkan Penyebabnya
Menurutnya, dari total lahan yang ada, sebagian besar produksi kakao masih berkualitas rendah karena tidak melalui proses fermentasi.
Selain itu, mayoritas tanaman kakao di Indonesia telah berusia tua dan tidak diimbangi dengan regenerasi petani maupun pembaruan tanaman secara signifikan. Soetanto juga mengatakan lambatnya rencana peremajaan tanaman kakao di Indonesia.
Sementara itu, dari sisi perdagangan, kakao Indonesia menghadapi berbagai hambatan tarif (tariff barrier) dari negara-negara tujuan. Ekspor pasta kakao tanpa lemak ke Jepang masih dikenai tarif hingga 10 persen dan bubuk kakao dengan tambahan gula mendapatkan tarif 29,8 persen.
Produk bubuk kakao tanpa gula yang diekspor ke Amerika Serikat dikenai tarif 0,52 sen per kilogram, sementara produk cokelat yang mengandung lemak kakao menghadapi tarif lebih tinggi, yaitu 52,8 sen per kilogram.
Baca Juga: BPDP Kemenkeu Bidik 5.000 hektare Peremajaan Kebun Kakao di 2026
Selain tarif, kakao Indonesia turut menghadapi regulasi ketat seperti maximum residue limit (MRL) pestisida, serta batas kandungan logam berat, toksin, dan alergen.
Industri kakao juga dihadapkan pada ketentuan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mulai diterapkan Uni Eropa. Regulasi ini melarang masuknya produk berbasis komoditas seperti kelapa sawit, kopi, kakao, kayu, karet, kedelai, dan ternak jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Dengan berbagai hambatan mulai dari aspek hulu, kualitas produk, hingga regulasi perdagangan global, industri kakao nasional dinilai membutuhkan strategi menyeluruh agar mampu bersaing sekaligus memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cita Auliana
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement