Kredit Foto: Istimewa
Rehabilitasi Direksi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menuai perdebatan terkait bagaimana negara memastikan pemulihan kerugian keuangan ketika pidana dalam perkara korupsi dihapus melalui Keputusan Presiden.
Di balik keputusan yang tampak administratif, tersimpan potensi risiko bagi mekanisme pengembalian uang negara.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai rehabilitasi ASDP tidak cukup dipahami sebagai persetujuan formal Presiden. Menurutnya, pokok masalah justru terletak pada konsekuensi ketika prinsip objektivitas dan pendekatan kemanusiaan diterapkan pada kasus tipikor yang menyangkut uang negara.
"Termasuk potensi hilangnya pemulihan kerugian negara yang sudah diputuskan pengadilan. Ini preseden pertama. Dan justru karena pertama, maka ia masih bisa, dan harus direview," kata Iskandar dalam, Sabtu (29/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa proses menuju rehabilitasi dimulai dari suara masyarakat yang menganggap putusan pengadilan tidak adil. Aspirasi tersebut disampaikan kepada Komisi III DPR RI dan kemudian mendapat dorongan hingga ke pemerintah pusat.
Dalam waktu singkat, jalur birokrasi mulai bekerja: Sekretariat Negara menyiapkan kajian, Menko Polhukam memberikan legitimasi, Mahkamah Agung menyampaikan pertimbangan, lalu Presiden menandatangani Keputusan Presiden tentang rehabilitasi.
"Tidak ada yang salah dari alurnya. Masalahnya adalah gap kritis yang luput dipetakan, yakni siapa yang menilai dampak keuangan negara saat rehabilitasi itu akan diberikan?" jelasnya.
Iskandar menekankan bahwa dalam perkara korupsi BUMN, dua unsur hukum selalu berjalan bersama—pemidanaan pelaku dan pemulihan kerugian negara. Namun pada rehabilitasi ASDP, penghapusan pidana menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberlanjutan proses pemulihan.
"Nah, pada kasus ASDP, rehabilitasi telah menghapus pidana. Tapi siapa yang bisa memastikan kerugian negara tetap dipertanggungjawabkan? Di sinilah persoalan besarnya," ucapnya.
Ia menyoroti bahwa keputusan Presiden lahir berdasarkan penyusunan administrasi oleh para pembantu Presiden. Oleh karena itu, kualitas laporan dan data menjadi sangat menentukan. Hingga kini, belum ada kejelasan publik mengenai bagaimana kerugian negara dihitung, ataupun apakah laporan tersebut sudah diverifikasi dengan temuan BPK.
Belum diketahui pula apakah Mahkamah Agung memberikan penilaian yang mencakup aspek kerugian negara atau hanya menilai prosedurnya. Kekhawatiran muncul karena rehabilitasi tidak serta-merta menjamin bahwa kewajiban mengganti kerugian negara tetap berjalan.
"Dengan kata lain, Presiden menggunakan hak prerogatifnya berdasarkan proses administrasi yang dia sendiri tidak lakukan secara langsung, dan sekarang risikonya malah jadi ditanggung negara," jelasnya.
Iskandar menegaskan bahwa pertimbangan kemanusiaan atau profesionalitas boleh saja menjadi dasar rehabilitasi, tetapi prinsip tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban mengembalikan uang negara. Menurutnya, dana BUMN seperti ASDP merupakan uang publik yang harus dipertanggungjawabkan.
"Tapi dalam tipikor, humanisme tidak boleh menghapus kewajiban mengembalikan kerugian negara. Apalagi BUMN seperti ASDP itu memiliki kekhususan, yakni uang yang mengalir adalah uang negara dan membebani publik," tutur Iskandar.
Ia melihat kombinasi antara aspirasi publik dan percepatan birokrasi—tanpa dilandasi audit keuangan—sebenarnya justru menimbulkan celah di mana kerugian negara tidak lagi diawasi. Kekaburan mengenai pihak yang harus mengganti kerugian menjadi masalah utama yang belum terjawab.
"Siapa yang harus bertanggung jawab sekarang? Siapa yang akan didorong untuk membayar kembali? Apa mekanisme yang dipakai untuk memaksa? Tidak ada jawaban," ujarnya.
Menurut Iskandar, persoalan bukan pada keputusan Presiden, tetapi pada jalur administrasi yang menuntun Presiden ke keputusan tersebut. Jika aspirasi publik menjadi pemicu kebijakan tanpa analisis kerugian negara, LHP BPK, dan instrumen pemulihan, maka negara berisiko kehilangan uang dalam proses rehabilitasi.
"Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dan bisa dipakai untuk kasus-kasus berikutnya," tutur Iskandar.
Ia menilai preseden pertama ini masih dapat diperbaiki. Presiden Prabowo, menurutnya, masih memiliki ruang untuk meninjau ulang proses administratif, memastikan setiap keputusan rehabilitasi mencantumkan kewajiban finansial, melakukan verifikasi ulang kerugian negara melalui lembaga terkait, dan menyusun aturan baku agar Keppres rehabilitasi tetap mengikat secara finansial.
"Tanpa prinsip itu, negara akan kehilangan miliaran rupiah setiap kali rehabilitasi diberikan," tegas Iskandar.
Ia melihat bahwa kasus ASDP menunjukkan dua sisi: birokrasi bergerak gesit saat aspirasi masuk, namun pengawasan keuangan negara melemah saat audit tidak disertakan. Hal ini menjadi momentum bagi Presiden untuk memperkuat tata kelola negara agar kerugian tidak berulang.
"Presiden Prabowo memulai era baru dengan keberanian menata ulang negara. Tentang rehabilitasi ASDP, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh kalah oleh kelengahan administratif," ucapnya.
Iskandar menegaskan bahwa pembahasan ini bukan dimaksudkan untuk membatalkan rehabilitasi atau menarik Keppres. Tujuannya adalah memastikan negara memiliki instrumen tata kelola yang kuat agar hak atas pemulihan kerugian tidak hilang hanya karena proses aspirasi berubah menjadi rehabilitasi.
"Kalau tidak, ini akan menjadi pintu masuk untuk ratusan permohonan lain yang menggunakan 'aspirasi' sebagai bungkus, tapi mengorbankan keuangan negara di ujungnya," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement