Menuju Sistem Pajak Modern, Evaluasi Awal Coretax Jadi Langkah Strategis Pemerintah
Kredit Foto: Istimewa
Proyek Coretax yang diharapkan menjadi lokomotif reformasi perpajakan, kini menghadapi masalah teknis serius. Akar masalah disebut tidak semata-mata hanya pada fase implementasi, tetapi bermula dari kesalahan desain dan konflik kepentingan pada fase pra-perencanaan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, meminta Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa segera memeriksa akar persoalan Coretax yang dinilai muncul sejak tahap pra-perencanaan dan penunjukan konsultan.
"Fase ini, yang menentukan cetak biru proyek, justru luput dari pengawasan memadai. Di sinilah keputusan krusial seperti pemilihan teknologi dan pengawas proyek ditetapkan, yang secara langsung mempengaruhi nasib proyek raksasa senilai triliunan rupiah ini," kata Iskandar, Rabu (3/12/2025).
Menurut IAW, kerangka regulasi proyek sebenarnya kuat karena mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (SiAP). Aturan tersebut menjadi landasan peta jalan reformasi pajak 2018–2024 dan Rencana Strategis Kementerian Keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 349 tahun 2018.
Di atas kertas, sistem Coretax dirancang menggunakan model Commercial Off-The-Shelf (COTS) yang dianggap lebih efisien dan mudah diintegrasikan. Pendekatan ini dinilai memberikan keunggulan berupa kecepatan implementasi serta pengurangan risiko biaya.
"Pemilihan COTS disebut berdasarkan kajian internal Kemenkeu dan eksternal, dengan pertimbangan sistem harus mampu menangani kompleksitas dan volume transaksi pajak nasional yang masif," imbuhnya.
Kemenkeu dalam dokumen resmi menyampaikan empat alasan utama menghadirkan konsultan asing kelas dunia dalam perencanaan. Alasan itu mencakup keterbatasan SDM, kebutuhan menyerap praktik OECD, kompleksitas proyek, serta tekanan waktu target 2025.
"Meski alasan-alasan ini sah secara konsep, dalam praktiknya IAW menemukan indikasi bahwa logika ini dimanfaatkan untuk membatasi kompetisi dan membuka jalan bagi konsultan global tertentu, bukan semata untuk transfer pengetahuan dan penguatan kapasitas nasional," tegas Iskandar.
IAW menilai penyimpangan terjadi karena dokumen pra-kualifikasi dan spesifikasi teknis disusun dengan arahan konsultan tertentu. Ketentuan pengadaan seperti Perpres 40/2018 dan PP 16/2018 sebenarnya kuat, namun dianggap tidak dijalankan secara konsisten dalam tahap eksekusinya.
Isu diskriminatif terlihat pada standar teknis yang terlalu tinggi untuk dipenuhi konsultan lokal serta kewajiban penggunaan COTS yang menghambat pengembangan custom. Penggunaan istilah proprietary dan kualifikasi ekstrem seperti pengalaman di lima negara dengan portofolio USD 100 juta membuat peluang hanya terbuka untuk konsorsium asing.
"Fakta di lapangan mengonfirmasi kecurigaan ini. Dari 27 perusahaan yang mendaftar pra-kualifikasi pada 2019, hanya delapan yang lolos administrasi. Kedelapan peserta tersebut justru merupakan konsorsium asing atau perusahaan lokal yang sepenuhnya bergantung pada mitra teknologi asing. Proses ini lebih menyerupai 'penyisihan' daripada seleksi yang adil dan terbuka," bebernya.
IAW kemudian mempertanyakan penunjukan PricewaterhouseCoopers (PwC) sebagai agen pengadaan dan Deloitte Touche Tohmatsu sebagai penjamin mutu. Dua konsultan kunci tersebut dianggap memiliki potensi konflik kepentingan dan dipilih melalui proses yang tidak sepenuhnya transparan.
PwC diganjar kontrak Rp 89,7 miliar dengan tugas merancang dokumen tender, menilai penawaran teknis, dan memimpin negosiasi. Posisi PwC yang sekaligus merancang spesifikasi dan menjadi evaluator dipandang bertentangan dengan prinsip pemisahan fungsi dalam tata kelola yang baik.
Sementara itu, Deloitte ditunjuk sebagai quality assurance dalam kontrak bernilai Rp 110,3 miliar. Proses penunjukan secara langsung tanpa tender kompetitif memunculkan keraguan terhadap efektivitas uji pasar dan nilai manfaat yang diperoleh negara.
"Masalah utama adalah penunjukan dilakukan secara langsung tanpa proses tender kompetitif. Alasan 'keahlian khusus dan kebutuhan mendesak' yang digunakan meniadakan prinsip uji pasar dan kompetisi, berpotensi menyebabkan negara tidak mendapatkan value for money terbaik," kata Iskandar.
Penunjukan dua entitas global ini menimbulkan kritik mengenai lemahnya pengawasan pemerintah dalam menyerahkan perencanaan sistem pajak kepada pihak eksternal. Rekam jejak keduanya pun dipertanyakan karena pernah terseret skandal konsultasi dan audit di berbagai negara.
"Terlebih lagi, PwC sempat diterpa isu terlibat beberapa kasus skandal pajak di Inggris dan Australia. Dalam laporan Accountancy Age, PwC diduga memfasilitasi manipulasi pajak yang melibatkan klien-klien elitnya," ucapnya.
Iskandar menyampaikan keraguan terhadap reputasi kedua perusahaan tersebut, termasuk kasus Deloitte yang pernah dijatuhi larangan menerima kontrak audit baru oleh Kemenkeu akibat kegagalan mendeteksi kecurangan laporan SNP Finance periode 2012–2016. Kondisi ini menurutnya seharusnya menjadi pertimbangan serius sebelum menunjuk mereka dalam proyek strategis negara.
"Kondisi konsultan seperti itu seharusnya menjadi pertimbangan ekstra hati-hati dalam penunjukan mereka untuk proyek sepenting ini!" tegas Iskandar.
IAW menilai bahwa hambatan utama Coretax bersumber dari tahap awal, yakni pengadaan dan pra-perencanaan, sebelum system integrator LG CNS–Qualysoft mulai bekerja. Kekeliruan dalam quality assurance, rancangan sistem, serta spesifikasi dinilai merupakan konsekuensi dari proses yang cacat dan penuh konflik kepentingan.
"Ini menurut kami sudah dipahami oleh Menkeu Purbaya. Inilah fase yang harus sesegera diperiksa Menkeu! Oleh karena itu, dengan ujug-ujug menyalahkan system integrator sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab adalah tindakan yang tidak tepat. Maka wajar Purbaya sebagai Menkeu yang baru sampai geram! Evaluasi itu harus dimulai dari hulu, yakni meninjau peran dan kontrak konsultan yang merancang fondasi proyek ini. Hanya itu!" jelasnya.
IAW pun mengajukan sejumlah rekomendasi sebagai langkah pemulihan proyek Coretax. Rekomendasi tersebut meliputi audit investigatif BPK, evaluasi kepatuhan terhadap Perpres SPBE, audit keamanan BSSN, pembentukan tim independen lintas lembaga, serta peninjauan ulang kontrak dengan konsultan terkait.
Selain itu, IAW mendorong penguatan kapasitas nasional agar proyek TI strategis tidak selalu bergantung pada konsultan asing. Langkah ini dipandang penting untuk menjaga kedaulatan digital dan memastikan pengelolaan sistem negara tidak dikuasai pihak luar.
"Coretax bukan sekadar proyek teknologi informasi. Ia adalah tulang punggung administrasi dan keadilan fiskal bangsa. Tulang punggung ini harus dibangun di atas pondasi yang kuat, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan. Jika fondasinya rapuh, mustahil mengharapkan bangunan yang kokoh di atasnya," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement