Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sawit Lampaui Batas, Bencana Hidrometeorologi Sumatera Ditengarai Semakin Parah

Sawit Lampaui Batas, Bencana Hidrometeorologi Sumatera Ditengarai Semakin Parah Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Eskalasi bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) dinilai tidak lagi dapat dipandang sebagai fenomena cuaca biasa.

Sawit Watch menyebut terdapat korelasi struktural antara intensitas bencana dan pelanggaran ambang batas (overshoot) daya dukung lingkungan akibat ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali.

Kajian Sawit Watch bersama koalisi masyarakat sipil menggunakan pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) menemukan bahwa Pulau Sumatera telah mengalami defisit ekologis. Luas tutupan sawit mencapai 10,70 juta hektare, sedikit melampaui batas atas (cap) sawit Sumatera yakni 10,69 juta hektare, sementara kebutuhan lahan sawit sebenarnya hanya 1,53 juta hektare.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, merujuk pada hasil riset kami bahwa luas perkebunan sawit eksisting tahun 2022 di Pulau Sumatera, telah sedikit melampaui kapasitas ekosistem (‘cap’ sawit).

Baca Juga: Tanggap Darurat Banjir, Astra Agro Perkuat Respons Sosial Perusahaan

"Meskipun kelebihan luasan (surplus) secara angka terlihat kecil, permasalahan utamanya terletak pada distribusi spasial penanaman. Riset menemukan fakta bahwa merujuk pada Peta Penggunaan Lahan (PPL) terdapat 5,97 juta hektare perkebunan sawit di Sumatera berada di dalam wilayah Variabel Pembatas,” ujar Surambo dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (6/12/2025).

Surambo menegaskan bahwa konversi hutan di area sensitif menjadi perkebunan monokultur memicu limpasan ekstrem. Dia menjelaskan, ketika hutan di area variabel pembatas dikonversi menjadi sawit yang monokultur, lanskap akan kehilangan kemampuan alaminya yang berfungsi seperti 'spons' penyerap, sehingga memicu aliran permukaan (limpasan) ekstrem yang berujung terjadinya bencana.

"Hanya kebun sawit eksisting yang dapat dipertahankan tanpa ada peluang ekspansi baru di Sumatera. Temuan ini menegaskan perlunya pengendalian ketat terhadap perluasan sawit untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan kepastian tata ruang,” ujar Surambo.

Ia menambahkan, berdasarkan hasil analisis spasial Sawit Watch menunjukkan tumpang tindih antara tutupan sawit, area berisiko, dan wilayah terdampak banjir. Temuan ini menampilkan jalur dan sebaran banjir parah yang melanda beberapa wilayah di Sumatera, yaitu Aceh, Mandailing Natal (Sumatera Utara), dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat).

Baca Juga: Lewat Pertamina Patra Niaga, Pertamina Perkuat Layanan Distribusi Energi dari Darat hingga Udara untuk Percepat Pemulihan Pasca Banjir

"Di Aceh, banjir parah terjadi pada lanskap yang di dalamnya terdapat 231.095,73 hektare konsesi kebun sawit. Di Mandailing Natal, Sumatera Utara, area yang terdampak banjir memiliki sekitar 65.707,93 hektare konsesi sawit. Sedangkan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, banjir terjadi pada wilayah dengan 24.004,33 hektare konsesi sawit. Jika digabungkan, total terdapat 320.807,98 hektare konsesi sawit dalam bentang lanskap yang mengalami banjir parah.”

Menurut Surambo, kondisi tersebut menegaskan bahwa intensitas banjir di Sumatera tidak hanya dipicu curah hujan ekstrem, tetapi juga tekanan pada daerah tangkapan air di dalam dan sekitar konsesi sawit skala besar. Ia menyebut kombinasi faktor hidrologis dan ekspansi lahan di zona sensitif meningkatkan risiko bencana secara signifikan.

Kepala Departemen Riset, Kampanye & Kebijakan Publik Sawit Watch, Hadi, turut menekankan perlunya penghentian izin baru perkebunan sawit. Ia menyebut kajian ekonomi dengan metode Input-Output menunjukkan bahwa skenario Moratorium Permanen disertai Peremajaan Sawit Rakyat (Replanting) menghasilkan proyeksi output ekonomi lebih tinggi, yakni Rp30,5 triliun pada 2045.

Sementara skenario ekspansi tanpa batas (business as usual) diproyeksikan menimbulkan output negatif sebesar minus Rp30,4 triliun akibat melonjaknya biaya sosial, penanganan bencana, dan hilangnya jasa lingkungan.

“Perekonomian tidak bisa tumbuh di atas tanah yang longsor atau wilayah yang banjir. Solusinya bukan dengan melakukan ekstensifikasi (ekspansi lahan), melainkan intensifikasi (peningkatan produktivitas) melalui peremajaan kebun rakyat yang sudah ada," ujar Hadi.

Baca Juga: Greenpeace Soroti Deforestasi dan Krisis Iklim sebagai Pemicu Banjir Sumatera

Hadi mengatakan, ekspansi perkebunan sawit perlu ditekan dengan penerapan kebijakan penghentian izin baru (moratorium) secara permanen. Untuk itu, ia meminta untuk dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin perkebunan sawit termasuk yang berada pada zona variabel pembatas di Aceh, Sumut dan Sumbar.

"Selain itu rencana pengembangan mandatori B50 pada tahun 2026 memicu gelombang deforestasi baru ditambah pemerintah secara terbuka menyampaikan rencana ekspansi sawit seluas 600.000 hektare tahun depan. Untuk itu kami menilai penting bagi pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan dan target bauran biodisel ini,” tambah Hadi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: