Survei Fortinet Ungkap Peran AI dalam Hadapi Serangan Siber Cukup Penting
Fortinet mengungkap hasil survei baru yang dilakukan oleh IDC mengenai Kondisi Operasi Keamanan (State of SecOps) di kawasan Asia-Pasifik. Survei yang dilakukan oleh Fortinet ini memberikan wawasan berharga tentang lanskap SecOps saat ini, dengan menekankan peran Kecerdasan Buatan (AI) dan automasi.
Menurut Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia, dalam keamanan siber yang terus berkembang, 70,7% perusahaan memprioritaskan deteksi ancaman yang lebih cepat melalui automasi. Pentingnya deteksi dan respons cepat sebagai landasan peningkatan postur keamanan siber dengan rata-rata membutuhkan waktu 22 hari 6 jam.
“Satu cyber attack membutuhkan waktu 21 hari, yang terdiri dari 12 jam menahan serangan, kemudian 6 jam untuk medeteksi dan 12 jam untuk remediasi sehingga total 22 hari 6 jam. Dan ini belum termasuk pemulihan. Pengalaman pelanggan kami mengutamakan urgensi ini, dengan pengurangan transformatif dari rata-rata 21 hari menjadi hanya satu jam untuk deteksi, yang didorong oleh AI dan analisis tingkat lanjut. Hal ini menandakan langkah mendasar dalam memperkuat pertahanan keamanan siber, di mana waktu untuk mendeteksi dan merespons adalah hal yang terpenting. Automasi, dalam konteks ini, muncul sebagai kunci utama dalam menghadapi tantangan lanskap ancaman yang dinamis saat ini,” tuturnya saat sesi temu media di Jakarta (14/12/2023).
Edwin mengatakan, saat ini semua orang berbicara tentang AI. Fortinet sendiri telah menggunakan AI sejak tiga tahun yang lalu.
“Covid memaksa kita untuk masuk ke dunia digital. Untuk 100 persen hidup di dunia digital itu tidak mudah. Banyak perusahaan saat ini mengimpelentasikan AI utk mentransformasi operasional bisnis," ucapnya.
Survei SecOps memaparkan berbagai temuan antara lain phishing (pengelabuan) dan pencurian identitas adalah ancaman siber yang paling dominan di Indonesia, dengan 50% perusahaan menempatkannya sebagai ancaman utama. Lima ancaman teratas terdiri dari phishing, pencurian identitas, ransomware, DdoS dan DoS, serta serangan berbasis Internet of Things (IoT). Selain itu, insiden ransomware meningkat dua kali lipat di seluruh Indonesia, dengan 62% perusahaan melaporkan setidaknya peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2023, dibandingkan tahun 2022.
Terdapat 92% responden merasa bahwa pekerjaan jarak jauh telah menyebabkan peningkatan insiden ancaman orang dalam. Pelatihan yang tidak memadai, kurangnya kepedulian karyawan, dan komunikasi yang tidak memadai berkontribusi terhadap lonjakan ini, sehingga menekankan perlunya mengatasi faktor manusia dalam keamanan siber. Hanya 50% bisnis di Indonesia yang mendedikasikan sumber daya TI untuk tim keamanan. Pekerjaan hybrid, AI, dan integrasi sistem IT/OT menimbulkan tantangan yang signifikan. Adopsi teknologi awan muncul sebagai tantangan utama, yang berdampak pada kerentanan perusahaan terhadap ancaman siber (cyber threat).
Kurang lebih 2 dari 5 (42%) perusahaan yang disurvei di seluruh Indonesia mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai kurangnya perlengkapan dalam membendung ancaman. Lebih dari 50% perusahaan yang disurvei mengalami rata-rata 221 insiden per hari dan 2 dari 5 perusahaan menghadapi lebih dari 500 insiden setiap hari, yang menyebabkan kelelahan karena kewaspadaan.
Baca Juga: Tangkal Serangan Siber yang Kian Masif, Synology Tawarkan Solusi ini
Dua peringatan teratas yang dihadapi adalah email mencurigakan (phishing) dan deteksi malware atau virus, yang menyoroti pentingnya pelatihan yang ditargetkan mengenai kesadaran phishing.
Selain itu, perilaku pengguna yang mencurigakan, penguncian akun, dan beberapa upaya login yang gagal berkontribusi terhadap kelelahan peringatan.
Rata-rata, hanya ada satu tenaga ahli SecOps untuk setiap 140 karyawan, yang masing-masing mengelola sekitar 16 peringatan setiap hari. Beban kerja ini memberikan tekanan yang signifikan pada para profesional keamanan siber, sehingga mereka hanya memiliki waktu 30 menit untuk mengatasi setiap peringatan dalam 8 jam kerja.
Tantangan positif palsu (false positive) tetap ada, dengan 70% responden mencatat bahwa setidaknya 25% dari peringatan yang mereka terima adalah positif palsu dengan peringatan keamanan email/phishing, peringatan penguncian akun pengguna, dan peringatan analisis perilaku sebagai kontributor teratas. 82% tim membutuhkan waktu lebih dari 15 menit untuk memvalidasi peringatan, sehingga menyoroti perlunya automasi.
Sebanyak 86 persen responden di seluruh Indonesia merasa kesulitan untuk selalu memperbarui keahlian tim mereka seiring lanskap ancaman yang berubah dengan cepat. Responden survei memprioritaskan kemampuan mengautomasi (62%) sebagai keahlian utama tim Pusat Operasi Keamanan (Security Operations Centre/SOC), dan menyoroti semakin pentingnya automasi dalam keamanan siber.
Mayoritas (98%) perusahaan telah menggunakan alat automasi dan orkestrasi dalam operasi keamanan mereka, menunjukkan pengakuan luas atas nilai alat tersebut dalam memperkuat strategi keamanan siber. Meskipun alat automasi sudah banyak digunakan, survei menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh potensi teknologi ini.
Secara khusus, sekitar 92% responden telah merasakan peningkatan produktivitas yang signifikan, dengan setidaknya 25% peningkatan waktu deteksi insiden berkat automasi. Perusahaan secara aktif mengupayakan optimalisasi proses automasi untuk membangun kerangka keamanan siber yang lebih efisien.
Baca Juga: Bahaya Ransomware, Keamanan Siber Perbankan Disoroti OJK
Lebih dari 50% responden mengatakan bahwa area teratas untuk automasi mencakup memaksimalkan visibilitas, respons otomatis, dan inteligensi ancaman, serta mengoptimasi efisiensi operasional dari sumber daya keamanan dan inteligensi yang sudah ada. Perusahaan bersiap memprioritaskan investasi operasi keamanan dalam 12 bulan ke depan.
Lima prioritas utama mencakup peningkatan keamanan jaringan dan titik akhir, pemberdayaan kesadaran siber staf, peningkatan perburuan dan respons terhadap ancaman, pembaruan sistem penting, dan pelaksanaan audit keamanan. Prioritas-prioritas ini selaras dengan lanskap ancaman yang terus berkembang dan mengutamakan fokus strategis pada langkah-langkah keamanan siber yang komprehensif.
Rashish Pandey, Vice President of Marketing and Communications, Fortinet Asia yang juga hadir dalam sesi tersebut mengatakan bahwa dalam ancaman yang terus berkembang, perusahaan bergulat dengan spektrum ancaman siber yang menargetkan aset digital mereka.
“Solusi Operasi Keamanan Fortinet, yang didukung oleh AI tingkat lanjut, tidak hanya menjawab kebutuhan mendesak akan automasi tetapi juga memberikan strategi komprehensif untuk deteksi dan respons insiden. Komitmen kami untuk memberdayakan perusahaan dalam menavigasi medan keamanan siber yang dinamis ditunjukkan melalui solusi inovatif.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement