Pengamat Otomotif Sebut Transisi Energi Suatu Keharusan Strategis Masa Depan
Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Pengamat otomotif Bebin Juana menilai transisi energi merupakan keharusan strategis masa depan. Namun, keberhasilan energi alternatif tidak dapat ditentukan oleh popularitas atau uji coba semata, melainkan oleh kesiapan skala ekonomi, pasokan bahan baku, dan kemampuan memenuhi kebutuhan nasional.
"Minyak bumi pasti akan habis. Tapi mencari penggantinya tidak bisa sekadar berdasarkan tren. Energi alternatif harus layak secara ekonomi, bisa diproduksi massal, dan tidak membebani konsumen," ujar Bebin.
Bebin mencontohkan, Brazil berhasil menggunakan energi terbarukan karena mereka surplus tebu dan didukung kebijakan negara yang konsisten. Bebin menilai Bobibos yang berdasarkan jerami memiliki potensi ke arah sana.
"Secara konsep, ada potensi karena jerami adalah limbah. Tapi kita belum tahu apakah jumlahnya cukup untuk kebutuhan nasional dan apakah pasokannya stabil. Yang penting itu kualitas dan volumenya harus konsisten," kata dia.
Baca Juga: Listrik Tenaga Surya dari Pertamina Terangi Tenda Pengungsi Aceh Tamiang
Jerami adalah residu pertanian yang selama ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Jika bisa diolah menjadi bahan bakar, itu akan mengurangi biaya bahan baku sekaligus memberi nilai tambah pada sektor pertanian.
Di Indonesia ada sekitar 11 juta hektare sawah dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tentu ini lebih mudah didapat daripada aren atau sawit.
Selain itu, Bebin menilai bahan bakar berbasis aren memiliki keterbatasan dari sisi volume dan kesinambungan pasokan. Kebutuhan energi nasional, kata dia, tidak hanya untuk kendaraan darat, tetapi juga sektor perikanan, logistik dan industri.
"Berapa banyak aren di Indonesia? Kebutuhan bahan bakar itu besar sekali, bukan hanya untuk kendaraan darat, tapi juga kapal nelayan. Lalu masyarakat di media sosial membandingkan dua hal ini secara sederhana, padahal kasusnya tidak sesederhana itu," tuturnya.
Untuk biodiesel, Bebin mengakui Indonesia surplus minyak sawit sehingga logis untuk dibuat. Tetapi nyatanya harus berhati-hati karena tidak ada merek mobil yang siap menerima B35.
"Ketika persentasenya dinaikkan terlalu tinggi, itu berbahaya. Tidak ada merek mobil yang siap menerima B35. Harus berhati-hati agar konsumen tidak rugi. Selain itu ada unsur politis dalam urusan kilang minyak dan kualitas BBM kita yang tertinggal dibanding negara lain," katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement