Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan dan Praktik Diskriminatif Tidak Adil antara PTN vs PTS

Oleh: Didik J Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef

Kebijakan dan Praktik Diskriminatif Tidak Adil antara PTN vs PTS Kredit Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie memberi jawaban soal kritik perguruan tinggi negeri (PTN) yang terlalu banyak membuka kuota untuk mahasiswa baru. Menurutnya, kuota ini seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan. 

“Yang kita pikirkan bukan kuota, tapi apa kita memberikan peluang yang paling banyak dan paling bagus untuk semua masyarakat Indonesia, mahasiswa kita untuk belajar," tutur Stella kepada wartawan usai acara 2025 International Symposium on ECD di Thamrin Nine, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).

Prof. Stella adalah guru besar yang pintar, tetapi tidak paham situasi sosial-ekonomi dan sistem pendidikan di lapangan, sehingga menjawab kritik dari publik asal bunyi.

Yang jelas, PTN Surabaya gagal masuk ke dalam elite kampus Asia dan global, hanya menjadi kampus kelas tiga. Ini tugas Prof. Stella, dan setahun ini tidak signifikan hasilnya untuk mendekati rival di negara tetangga. 

PTN yang dibiayai dana rakyat lebih setengah abad gagal bersaing dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Sekarang dan selama ini mempraktikkan sistem tidak adil karena negara absen menjadi wasit yang adil. 

Ini masalah di lapangan yang tidak dimengerti Prof. Stella. PTN mendapat dana dari negara (pajak rakyat), dosen, gedung, lab, dan semua fasilitas dari pajak rakyat. Sekarang, PTN juga dibebaskan mengambil dana masyarakat dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya, padahal sudah menerima dana yang besar dari negara.

Ini berdampak menyingkirkan peran masyarakat dalam pendidikan tinggi yang sudah terlibat hampir satu abad. Contohnya, UII lahir sebelum Indonesia merdeka dan Unas lahir tahun 1948.

Baca Juga: Transformasi Digital dalam Dunia Pendidikan

Selain menerima anggaran negara, masyarakat sekarang membayar kepada dan mendukung anggaran PTN (bahkan sampai 70 persen). Lambat laun, birokrasi PTN menjadi besar sekali dan tidak efisien sehingga harus mengeruk dana ganda dari negara (pajak rakyat) dan masyarakat, dengan mengambil mahasiswa sebanyak-banyaknya. 

Cara seperti ini, di mana PTN menyedot dana dari negara sekaligus dari masyarakat, merupakan praktik kebijakan yang tidak adil dan sistem pendidikan tinggi yang dibiarkan bersaing secara "cutthroat competition" antara PTN dan PTS. 

Akibatnya, banyak PTS mati bergelimpangan, dan peran masyarakat dalam pendidikan tinggi dibunuh pelan-pelan. Sistem tidak adil seperti ini menekan dan menggerus peran ormas besar, seperti NU, Muhammadiyah, dan banyak yayasan-yayasan di daerah.

Karena berkompetisi dan supaya adil, maka dana negara dari pajak rakyat yang masuk ke PTN harus dipotong separuh dari masing-masing PTN, kemudian dibagi secara proporsional ke PTS. Dengan demikian, persaingan menjadi adil. Keduanya bisa mendapat sumber dana dari negara secara adil proporsional dan dari masyarakat.

Negara tidak boleh melakukan praktik diskriminasi seperti dijalankan selama ini. Ini praktik tidak adil yang telah berlangsung hampir setengah abad. Civil society yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa hanya diam selama ini, dan karenanya harus menuntut hak anggaran negara dari pajak rakyat tidak hanya untuk PTN. Negara harus menjalankan asas kesamaan (equality) dengan membagi sumber daya dari negara, dipecah dengan porsi yang sama antara PTN dan PTS. 

Usul saya yang pertama adalah anggaran negara untuk masing-masing PTN dipotong 50 persen. Kemudian, total hasilnya dibagi secara proporsional kepada PTS. PTN bebas mengambil mahasiswa dan menarik dana dari masyarakat. Kedua, saya usulkan DPR memutuskan di dalam APBN-P pada pertengahan 2026 mendatang karena sudah diputuskan. 

Bagi PTN yang sudah mengambil 70-80 persen dana masyarakat, maka pemotongan ini ringan karena hanya berkurang 10-15 persen. Jadi, negara bersikap adil karena mempraktikkan asas kesamaan hak dan kewajiban dalam rangka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti ada dalam Pembukaan UUD 1945.

Ke depan, negara tidak bisa lagi mempunyai sikap diskriminatif yang menempatkan PTN lebih tinggi derajatnya daripada PTS, sehingga anggaran negara hanya untuk PTN. Jadi, praktik diskriminasi seperti sekarang ini tidak boleh diteruskan. 

Anggaran negara yang datang dari pajak rakyat harus dibagi secara proporsional antara PTN dengan PTS secara adil. PTS selama ini berperan untuk mencerdaskan bangsa, melakukan investasi sendiri dan mandiri, tidak dapat dana dari negara, tetapi dengan cara yang brutal, PTN merusak peran PTS dan menyerap mahasiswa baru secara membabi buta.

Baca Juga: Kementerian PU Lanjutkan Pembangunan 104 Sekolah Rakyat Permanen untuk Perluas Akses Pendidikan Berkualitas

Jika anggaran negara tidak bisa dibagi dan anggaran PTN dari negara tidak mau dipotong 50 persen untuk berbagi, maka PTN harus membatasi penerimaan mahasiswa dari beasiswa dari negara, penuh atau campuran. 

Untuk yang pertama, PTN menerima mahasiswa dari golongan masyarakat bawah yang kurang mampu dan dibiayai negara sepenuhnya. Untuk yang kedua adalah cara gabungan "cross subsidy": mahasiswa mampu dan kaya membiayai mahasiswa tidak mampu di PTN. 

Dalam skema "cross subsidy" ini, jika PTN menerima mahasiswa tidak mampu dan beasiswa penuh dari negara untuk 1000 orang, maka PTN juga harus menerima mahasiswa yang kaya dari masyarakat golongan menengah-atas sebanyak 1000 orang. Asas proporsional ini membatasi penerimaan mahasiswa baru yang tidak mampu dari anggaran negara dan yang mampu dari masyarakat golongan menengah-atas.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: