Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

OJK Longgarkan Spin-off, Industri Syariah Bernafas Lega

OJK Longgarkan Spin-off, Industri Syariah Bernafas Lega Kredit Foto: (Azka Elfriza)
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pelonggaran aturan spin-off unit usaha syariah (UUS) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi ruang bernapas bagi industri pembiayaan syariah nasional yang sebelumnya tertahan ekspansi.

Ketentuan terbaru menetapkan kewajiban spin-off hanya berlaku bagi UUS dengan aset pembiayaan syariah mencapai 50% dari total aset perusahaan induk, menggantikan kekhawatiran lama terkait pemisahan usaha yang dinilai belum efisien secara ekonomi.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan kebijakan sebelumnya sempat menekan industri dan berdampak pada berkurangnya jumlah unit usaha syariah di sektor pembiayaan. Menurutnya, ketidakpastian regulasi membuat banyak perusahaan memilih menutup UUS dibandingkan menghadapi kewajiban pembentukan entitas baru.

“Dulu kita punya unit usaha syariah dari perusahaan pembiayaan itu 40 yang punya unit usaha syariah, akhirnya menutup,” ujar Suwandi dalam acara Indonesia Economic & Insurance Outlook 2026: “Berharap Kebijakan Fiskal akan Menjadi Pendorong Pertumbuhan Bisnis di 2026”, Senin (22/12/2025).

Baca Juga: APPI Prediksi Pembiayaan Syariah Tumbuh 20% Tahun Depan

Suwandi menjelaskan, pada fase awal kebijakan, OJK menyuarakan kewajiban spin-off apabila aset pembiayaan syariah mencapai Rp100 miliar yang setara dengan modal disetor minimum. Kondisi tersebut membuat pelaku industri menilai risiko pembentukan dua entitas usaha terlalu besar.

“Jadi pada takut. Berarti kan harus punya dua perusahaan,” katanya.

Situasi tersebut berubah setelah OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 46 Tahun 2024 yang menegaskan ambang batas kewajiban spin-off berbasis porsi aset pembiayaan syariah terhadap total aset induk. Aturan ini memberikan kepastian bahwa UUS tidak diwajibkan memisahkan diri selama aset pembiayaan syariahnya belum mencapai 50%.

“Dengan peraturan yang baru keluar pada waktu tahun lalu, kita confirm bahwa kita tidak perlu spin-off kalau aset daripada pembiayaan syariah itu belum mencapai 50% dari total aset,” ujar Suwandi.

Ia menilai pendekatan tersebut membuat keputusan spin-off menjadi lebih rasional dan mempertimbangkan skala ekonomi. Menurutnya, pemisahan usaha baru relevan dilakukan apabila ukuran bisnis telah cukup besar dan berkelanjutan.

“Kalau yang asetnya misalnya Rp10 triliun, Rp5 triliun. Paling tidak, economic of scale-nya masih menguntungkan kalau di-spin-off,” katanya.

Baca Juga: OJK Ungkap Hasil Investasi Asuransi Syariah Capai Rp2,73 Triliun

Relaksasi aturan ini dinilai mengubah strategi pelaku industri pembiayaan. Perusahaan kini dapat mengembangkan unit usaha syariah secara bertahap tanpa tekanan struktural untuk segera membentuk entitas baru yang berpotensi belum efisien secara finansial.

Selain itu, kejelasan regulasi memberikan kepastian dalam perencanaan bisnis jangka menengah dan panjang. Risiko pembentukan perusahaan baru yang belum memiliki basis aset dan pasar yang memadai dapat ditekan, sehingga struktur permodalan perusahaan tetap terjaga.

Menurut Suwandi, kebijakan tersebut memungkinkan industri mengalihkan fokus pada pengembangan produk, perluasan pasar, serta penguatan ekosistem pembiayaan syariah. Dengan pendekatan bertahap, pelaku usaha dinilai memiliki ruang untuk membangun bisnis syariah yang lebih sehat dan berkelanjutan di tengah dinamika industri keuangan nasional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Azka Elfriza
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: