WE Online, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi dunia hanya menyejahterakan sebagian kecil dari 7 miliar penduduk bumi saat ini. Ekonomi tumbuh tapi hasilnya tidak menyebar merata hanya terpusat di sebagian terkecil penduduk kelompok 10% warga dunia. Diantara kelompok 10% juga terjadi perbedaan yang mengerucut pada top 1%. Kelompok ini selain penyebab ketimpangan juga berkontribusi terjadinya krisis keuangan 2008 global (Atkinson, 2014).
Robert Schiller,peraih Nobel Ekonomi 2013 mengatakan masalah terpenting yang kita hadapi sekarang adalah meningkatnya ketimpangan. Tahun 1970, harta 10 orang terkaya dunia setara 10% pendapatan nasional dan jadi 45% tahun 2006.
Ketimpangan ini menjadi sumber utama ketidakstabilan ekonomi dunia dan terjadi di berbagai aspek kehidupan tambah perlu metode dan parameter baru mengukur ketimpangan kata James K. Galbraith (2012). Dibutuhkan pemerataan global untuk mendukung pertumbuhan dan pemulihan ekonomi dunia serta mencegah terjadinya resesi permanen, demikian solusi dari Stewart Lansley (2014).
Ketimpangan dan pemerataan ekonomi sedang menjadi topik hangat di kalangan pakar global dengan berbagai latar belakang. Mayoritas pakar global melihat inilah ”buah” lain dari kapitalisme, obat kuat yang berumur 2 abad lebih. Tidak sedikit yang bilang kini kapitalisme sedang memasuki senja.
Diantaranya adalah Thomas Piketty lewat bukunya Capital in Twenty First Century (2014) berpendapat pajak progresif global bisa jadi alat untuk mengatasi ketimpangan. Krisis ekonomi dunia yang membangkrutkan korporasi swasta, telah mendorong negara sebagai panglima dan juru selamat lewat mega bail out berujung nasionalisasi. Dan dunia cenderung bergerak menuju social state (negara sosial) dan dibutuhkan pola redistribusi baru (new re-distribution) untuk pemerataan. Diperlukan kapitalisme untuk manusia, bukan manusia untuk kapitalisme.
Dengan menerapkan pajak progresif skala global maka tidak ada lagi kelebihan dan keunggulan dari 91 kawasan bebas pajak (tax haven country) dari Bermuda, Cayman Island, Maldives sampai Labuan sehingga tempat untuk menyembunyikan keuntungan dan menghindari pajak semakin terbatas.
Meluasnya demo memprotes ketimpangan global dari sidang World Trade Organization (WTO) sampai demo Occupy Movement 2011 di Zucotti Park (Wallstreet), reaksi dari ketimpangan tersebut. Yang memprotes ketimpangan penghasilan di dunia keuangan, aksi 99% melawan 1%. Ini akumulasi dari sikap protes atas perilaku rakus eksekutif "kerah putih" ala Gordon Gekko (dunia film) atau Nick Lesson (dunia nyata).
Ketika terjadi krisis ekonomi 2009, baru 47% penduduk Amerika Serikat percaya ada ketimpangan dan konflik kaya dan miskin. Naik menjadi 66%, tiga tahun pasca krisis (2012). Termasuk kakek super tajir Warren Buffet (terkaya kedua dunia 2011) yang pernah bilang memang ada perang antar kelas dan kami yang menang & mendapat pengurangan pajak.
Kelompok 1% di Indonesia
Dari 161 juta deposan yang punya Rp4.305 triliun simpanan di perbankan (April 2015), 76 ribu (0,05%) diantaranya adalah deposan yang simpanannya di atas Rp5 miliar dengan total simpanan Rp2.016 triliun. Artinya 0,05% top deposan ini pemilik 47% total simpanan perbankan.
Tahun 2009, ketika dibentuk Kantor Wajib Pajak Besar, Direktorat Jenderal Pajak mencatat ada 1.200 orang kayayang membayar SPT di atas Rp1 miliar. Ini bagian dari 848 ribu wajib pajak tahun 2008 dengan total setoran pajak Rp12 triliun. Di puncak piramida bertenggerlah 411 orang super kaya (0,05%) yang membayar SPT di atas Rp5 miliar dengan total pajak Rp1,4 triliun (11,7% pajak).
Dengan demikian, 411 orang super kaya (0,05%) ini membayar 11,7% pajak nasional dan 0,05% deposan terbesar memiliki 47% simpanan di perbankan nasional. Inilah puncak piramida dari kelompok 1% di Indonesia. Sewajarnya, 76 ribu deposan super kaya menjadi satu diantara 411 pembayar pajak terbesar. Kontribusinya dalam penghasilan pajak negara inilah yang harus dikembalikan ke negara dan didistribusikan bagi kesejahteraan rakyat.
Pendistribusian ini tentu tidak dilakukan ibarat “Robin Hood berburu di hutan Wall Street”. Tapi dengan cara merata berskala nasional, dengan visi menuju negara kesejahteraan (welfare state). Untuk itu memang perlu dana dan waktu. Sebuah impian yang mungkin dianggap utopia apalagi dari kaca mata hari ini.
Kini telah beredar 150 juta kartu BPJS Kesehatan (60% penduduk), jaminan sosial terbesar di dunia karena rakyat semakin sadar kesehatan dan memerlukan jasa rumah sakit. Dimana 43% adalah peserta yang membayar iuran (non PBI) dan 67% dibayar pemerintah (PBI, penerima bantuan iuran), sehingga terjadi subsidi silang tak langsung. Dan negara bertanggungjawab menutup defisit Rp2 triliun di tahun perdana 2014.
Ini hanya langkah awal dan kecil menuju negara kesejahteraan ke arah lebih baik, dengan segala kekurangannya saat ini. Tapi melambatnya pertumbuhan ekonomi 2 triwulan pertama tahun 2015 malah bisa memperbesar ketimpangan setelah 10 tahun terakhir (2009-2014) terus naik dari 0,32 ke 0,40. Apalagi 6 bulan dari September 2014 sampai Maret 2015 justru orang miskin bertambah 860 ribu orang hingga menjadi 28,5 juta orang.
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Edisi 19
Penulis: Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement