WE Online, Jakarta - Kenapa kita harus nenolak neoliberalisme atau liberalisme? Ini banyak ditanyakan mahasiswa-mahasiswa kita dalam ceramah-ceramah saya di berbagai kampus.
Pembangunan yang neoliberalislistik adalah pembangunan yang market driven, yaitu berdasarkan kehendak dan selera pasar alias kehendak dan selera kaum pemodal, yang arahnya mengejar rente ekonomi, mengejar profit, mengejar keuntungan berdasar hitungan untung-rugi ekonomi, dengan landasan mekanisme pasar bebas yang sering disebut kapitalisme atau capitalistic driven economy.
Maka pembangunan neoliberalistik tidak segan-segan menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan. Penggusuran ini dilakukan demi keuntungan ekonomi untuk kaum pemodal. Maka tidak peduli pula apa yang terjadi adalah "pembangunan 'di' Indonesia" dan bukan "pembangunan Indonesia".
Rakyat Indonesia hanya menjadi penonton pembangunan yang dilakukan oleh orang-orang asing di negerinya sendiri.
Pembangunan hendaknya berdasar "tugas negara" melaksanakan cita-cita kemerdekaan, berdasar Pancasila dan UUD45, berdasar Demokrasi Ekonomi Pasal 33 (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), dengan pemerintah yang komitmen pada tugas negara ini dan inilah pembangunan yang state driven atau constitutional driven development yang sangat bisa/hampir selalu tidak selaras dengan kehendak dan selera kaum pemodal yang bermotif keuntungan ekonomi semata.
Diktum (SES) pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya nengejar "nilai-tambah-ekonomi", tetapi juga "nilai-tambah humanistik sosial-kultural" (=melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan hehidupan bangsa serta ikut melasanakan ketertiban dunia --Pembukaan UUD45).
Oleh karena itu, Pasal 33 UUD45 menyatakann "perekonomian disusun ..." artinya disusun oleh negara (state driven), tidak dibiarkan tersusun sendiri (market driven) sesuai kehendak atau selera pasar (pemodal).
Secara teoretikal dan empirikal market driven forces (invisible hand-nya Smithian economics) tidak dapat mengatasi ketimpangan-ketimpangan strukural di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketimpangan-ketimpangan struktural harus diatasi oleh the visible hand (the state). Negara harus mengutamakan "daulat rakyat" bukan mengutamakan "daulat pasar".
Penulis: Sri Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement