Ternyata ada banyak faktor yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Salah satunya literasi keuangan atau bagaimana masyarakat melek mengenai keuangan. Dengan melek keuangan, masyarakat mampu memanfaatkan jasa keuangan untuk mengelola keuangan yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, di negara kita tingkat melek keuangan masih sangat rendah.
Direktur Literasi Keuangan dan Pendidikan Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Horas VM Tarihoran mengungkapkan sebuah hasil survei yang dilakukan pada tahun 2013, tingkat literasi keuangan hanya 21,8%, dari jumlah penduduk 250 juta yang berarti hanya 55 juta. Tidak hanya tingkat literasi yang rendah, tingkat inklusi juga lebih rendah hanya 6%.
Sementara jika dilihat dari masing-masing lembaga keuangan, literasi paling rendah ada di pasar modal yang hanya 3,7% dengan inklusi 0,11% di mana jumlah rekening aktif di bursa efek hanya sekitar 400 ribu, tidak sampai 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Dan untuk pembiayaan literasinya baru 9,8% inklusi 6,33%. Padahal pembiayaan merupakan lembaga keuangan yang paling mudah dijangkau masyarakat karena memiliki persyarakat yang gampang dan jangkauan lebih luas.
Lebih lanjut, Horas menjelaskan kondisi melek keuangan di sini dalam arti well literated dengan ciri paham dan mengerti lembaga keuangan dan produk-produknya, menggunakan produk lembaga keuangan dan memiliki akses ke lembaga keuangan itu, dan aktif dan punya keyakinan penuh bahwa menggunakan pelayanan jasa dan lembaga keuangan.
Melihat fakta tersebut, salah satu tugas OJK dengan semua lembaga keuangan untuk meningkatkannya. Target peningkatan literasi dan inklusi keuangan setiap tahun minimal 2%. Setidak tiga tahun berjalan, saat ini seharusnya tingkat literasi sudah naik menjadi 17,8% dan tingkat inklusi dari 6% menjadi 12%.
Upaya tersebut juga dilakukan bersama seluruh lembaga keuangan lainnya. Contohnya, OJK bersama bursa efek juga bekerja sama mengenalkan pasar modal ke masyarakat. Dan bersama perusahaan pembiayaan, akan mengenalkan pembiayaan yang lebih luas, seperti pembiayaan untuk mesin pertanian, pompa air dan sebagainya.
Bagaimana semakin tinggi tingkat literasi dan inklusi keuangan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Horas menjelaskan dengan masuk ke industri keuangan misalkan perbankan maka uang akan berputar untuk disalurkan lagi oleh perbankan dalam bentuk kredit, perusahaan pembiayaan, dan lainnya.
Perputaran uang tersebut memberikan nilai tambah terhadap ekonomi. Dan dengan tumbuhnya ekonomi akhirnya masyarakat mendapatkan nilai tambah dari investasi yang dilakukan di perusahaan keuangan.
"Ini menjadi tugas OJK dan semua lembaga keuangan. Riset membuktikan semakin tinggi tingkat literasi keuangan semakin tinggi pula inklusinya," ungkap Horas.
Terkait dengan literasi keuangan, lanjut Horas, telah diatur dengan POJK Nomor: 1/POJK.07/2013, tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, dimana pada pasal 14 POJK tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha jasa keuangan wajib menyelenggarakan edukasi dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada konsumen dan masyarakat.
Selanjutnya dalam pelaksanaannya, setiap tiga bulan lembaga keuangan mengirimkan realisasi program yang sebelumnya telah dirancang dalam rencana bisnis. POJK tidak membatasi bisa melakukan dengan berbagai cara dan channel, seperti tatap muka, media sosial, dan lainnya. Untuk literasinya berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan masing-masing.
"Nantinya semua bentuk lembaga keuangan, demikian juga bank juga melakukan edukasi mengenai asuransi dan lainnya, yang penting tidak dikaitkan dengan penjualan produk," tegas Horas.
Sejauh ini perusahaan telah mengikuti peraturan tersebut. Sebagian besar sudah disiplin melakukan literasi sesuai rencana yang diajukan. Tapi juga masih ada yang meleset, dari rencana 10 ada yang melakukan kurang dari itu, bahkan ada yang hanya berjalan 2 kali. Untuk lebih menertibkan, di POJK yang baru akan dibuat bagaimana agar lembaga keuangan taat melakukannya.
Feedback dari literasi keuangan sendiri, menurut Horas ada peningkatan pemahaman yang baik di masyarakat. Untuk perusahaan sendiri juga mendapatkan feedback positif, sebab semakin tinggi literasi keuangan masyarakat akhirnya masyarakat semakin tahu dan paham akhirnya masyarakat butuh produk-produk keuangan, dan itu yang akan menikmati para pelaku bisnis keuangan itu.
"Jadi nanti kita tidak perlu repot-repot lagi berjualan asuransi atau reksadana, karena masyarakat sudah tahu. Yang akan menikmati semuanya adalah lembaga keuangan juga, makanya kita mengharuskan mereka, sama-sama bahu-membahu membangun pasar," katanya.
Literasi Pembiayaan
Sementara itu, Home Credit sebagai salah satu perusahaan pembiayaan yang seumuran dengan OJK, telah melakukan kegiatan tersebut sejah hadir di Indonesia di tahun 2013. CEO Home Credit, Jaroslav Geisler, mengungkapkan sejak pertama kali menjalankan literasi keuangan di 2014 telah mengedukasi 515 orang yang dilakukan dalam 11 kelas tatap muka. Dimana 6 kelas dilakukan selama 2016 dengan peserta 297 orang.
Penerima manfaat program literasi keuangan yang dijalankan adalah generasi muda, mahasiswa, ibu rumah tangga, pelaku usaha kecil dan menengah, pensiunan pegawai negeri sipil dan swasta.
Namun menurut Jaroslav, secara tidak langsung literasi telah disampaikan kepada lebih dari 400 ribu customer Home Credit selama proses menjadi basabah Home Credit. Sebab, literasi keuangan dapat dilakukan dari hal-hal yang sederhana dari mengenai hak dan kewajiban. Selain itu Home Credit juga melakukan literasi keuangan melalui media sosial untuk melakukan kampanye mengenai literasi keuangan dan memberikan tips-tips mengelola keuangan yang dilakukan dengan tagar duitcerdas.
Chief External Affairs Home Credit, Andy Nahil Gultom menambahkan, melalui literasi keuangan masyarakat diberikan pelatihan bagaimana menyimpan uang, bagaimana mengetahui lembaga penyedia lembaga keuangan yang benar. Literasi juga mulai diberikan dari hal-hal yang dasar, seperti bagaimana membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Sebagai contoh, saat masyarakat akan membeli Handphone, maka harus diketahui terlebih dahulu kebutuhannya, jika yang untuk telefon dan SMS maka Handphone dengan fitur itu yang dibutuhkan, jika membeli dari itu maka adalah keinginan. Tapi kalau Handphone digunakan untuk memotret produk untuk dijual maka membutuhkan Handphone dengan fitur yang lebih.
Sebelum menuju tindakan menabung, maka literasinya menata keuangan. Apakah pendapatan lebih besar dari pengeluarkan apa tidak. Dalam penjualan kami, saat agen menawarkan produk kami juga ingin mengetahui kemampuan customer.
"Kalau kemampuan kurang maka harus direm keinginannya sebab kami juga tidak ingin membanjiri pembiayaan yang tidak perlu," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: