Suap dan Kickback Maxpower & GDMA: Praktik Fraud yang Lumrah untuk Peroleh Bisnis
Tanggal 21 September lalu saya membaca berita dari NDTV yang menginformasikan pengadilan Singapura menyetujui ekstradisi dua mantan eksekutif perusahaan kontraktor Glenn Defense Marine Asia (GDMA) yang mengguncang Angkatan Laut Amerika Serikat karena skandal penyuapan.
Pemilik GDMA telah terlebih dahulu menjalani persidangan di Amerika Serikat dan saat ini menunggu putusan pengadilan setelah ia mengakui banyak memberikan uang, gratifikasi seks (prostitusi), dan hadiah lain agar kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat berhenti di pelabuhan-pelabuhan yang dioperasikan GDMA.
Dua eksekutif tersebut bersama pemilik GDMA dituduh bersekongkol melakukan fraud terhadap Angkatan Laut Amerika Serikat dengan memasukkan lebih dari USD5 juta klaim dan tagihan palsu.
Sehubungan dengan investigasi terhadap GDMA, sebanyak 16 individu telah didakwa, termasuk 11 mantan perwira atau perwira aktif Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada bulan Juni lalu, Laksamana Muda Robert Gilbeau yang merupakan salah satu perwira tinggi di Angkatan Laut Amerika Serikat divonis bersalah setelah ia mengakui perbuatannya. Sebelumnya, Gilbeau kepada investigator menolak tuduhan menerima hadiah dari pemilik GDMA.
Dari kasus di atas, ada beberapa pelajaran untuk Indonesia, yaitu
a. Singapura digadang-gadang oleh Transparency International sebagai negara yang termasuk peringkat terbaik di Corruption Perception Index (CPI). Berdasarkan persepsi responden, CPI mengindikasikan negara ini relatif bersih dari praktik korupsi. Peringkat Singapura sangat jauh dibandingkan dengan Indonesia yang dipersepsikan pekat dengan praktik korupsi.
Pengamatan saya kepada berita di media massa, pemberitaan korupsi di Singapura memang relatif jarang. Bisa jadi karena negara tersebut memang relatif bersih dari praktik korupsi atau karena kompleksitas demografis, luas teritorial, dan budaya tidak serumit Indonesia sehingga aspek risiko korupsi Singapura lebih baik.
Namun dengan adanya kasus di atas dan fakta Singapura sebagai tempat yang aman untuk menyimpan harta hasil korupsi atau tindak pidana lainnya dari Indonesia (contoh pelarian korupsi BLBI beserta harta korupsi BLBI) maka kita sebagai bangsa yang besar tidak perlu minder dengan hasil CPI tetapi harus tetap fokus melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan efektif.
b. Praktik suap dan kickback?ternyata juga terjadi di mana-mana bukan hanya terjadi di negara berkembang dan penerimanya bukan hanya pejabat di negara berkembang. Pada kasus tersebut lokasi fraud dan pelaku penyuapnya adalah di/dari negara maju (Singapura dan Amerika Serikat), sementara penerima suap adalah perwira Amerika Serikat. Ini berarti fraud?dan korupsi adalah risiko melekat pada siapapun, organisasi apapun, dan di manapun.
c. Modus suap yang dilakukan juga sama majunya yaitu menggunakan prostitusi. Praktik suap pun dimasukkan sebagai klaim dan tagihan palsu senilai lebih dari USD5 juta. Biasanya jika perusahaan penyuap tidak memasukkan sebagai beban operasional maka ongkos menyuap tersebut akan dimasukkan ke nilai kontrak atau tagihan.
Cara yang lain adalah ongkos menyuap akan mengurangi kualitas dan/atau kuantitas barang dan jasa yang diserahkan. Oleh karena itu, dampak fraud dan korupsi sangat nyata dan signifikan.
d. Sebagaimana karakteristik korupsi yang di dalamnya ada praktik kolusi atau persekongkolan maka unsur kolusi pun terbukti pada kasus ini. Sehubungan dengan investigasi terhadap GDMA, sebanyak 16 individu telah didakwa, termasuk 11 mantan perwira atau perwira aktif Angkatan Laut Amerika Serikat.
e. Yang menarik juga adalah pemberantasan korupsi di Amerika Serikat telah menyentuh kepada militer beserta perwira-perwiranya. Kasus ini bukan yang pertama sebab situs FBI dan Department of Justice Amerika Serikat telah melaporkan penindakan atas fraud atau korupsi pada pengadaan militer untuk keperluan operasi di Irak dan Afghanistan. Ini berarti militer pun memiliki risiko fraud atau korupsi.
Penyuapan atau gratifikasi kepada pegawai negeri dan pejabat negara walau sudah jelas masuk sebagai tindak pidana korupsi tetap saja masih sering terjadi sehingga ada anggapan bahwa untuk menjalankan bisnis di Indonesia tidak lepas dari suap, kickback, dan gratifikasi.
Sebagai contoh, tanggal 27 September The Wall Street Journal memberitakan anak perusahaan Standard Chartered Bank Plc yaitu Maxpower Group Pte Ltd terlibat menyuap pejabat Indonesia untuk mendapatkan kontrak. Maxpower Group Pte Ltd adalah perusahaan yang juga berdomisili di Singapura yang bergerak di bisnis pembangunan pembangkit listrik.
Yang menarik, penyuapan ini ditemukan oleh audit internnya Maxpower Group Pte Ltd. Patut diacungi jempol auditor intern Maxpower Group Pte Ltd mampu menemukan bukti penyuapan yang dilakukan perusahaannya sendiri.
Saya mengamati, berbeda dengan penyuapan, kickback, dan gratifikasi kepada pegawai negeri dan pejabat negara yang jelas merupakan tindak pidana korupsi; penyuapan, kickback, atau gratifikasi antarkorporasi yang bukan pegawai negeri dan pejabat negara masih dianggap perbuatan yang lumrah sebagai bagian dari bisnis sehingga praktik antarkorporasi tersebut dianggap biasa atau tidak ada aturan yang melarangnya.
Namun ada korporasi yang lebih baik yaitu yang melarang secara parsial. Korporasi ini melarang pegawainya menerima suap atau gratifikasi, tetapi tidak melarang pemberian suap dan tidak mengatur batasan larangan pemberian gratifikasi. Semestinya penyuapan antarkorporasi dilarang dan pemberian gratifikasi antarkorporasi diatur dengan tegas.
Kasus-kasus di atas diharapkan dapat menggugah keseriusan para penanggung jawab governance termasuk pemilik perusahaan untuk segera mengembangkan dan menerapkan program anti-fraud di institusinya. Risiko fraud dapat berimplikasi kepada risiko operasional, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan.
Nilai kerugian bukan hanya nilai yang tertulis dari kerugian yang sudah timbul, namun mencakup nilai yang tidak tertulis seperti reputasi yang harus dipulihkan dan biaya lain yang terkait dengan penyelesaian kasus fraud. Buruknya penanganan risiko fraud mencerminkan buruknya governance.
Oleh karenanya, sudah saatnya institusi mempekerjakan pegawai yang memiliki kompetensi dan sertifikasi profesi anti-fraud seperti Certified Fraud Examiner kemudian mengembangkan dan mengimplementasikan program anti-fraud atau manajemen risiko fraud secara komprehensif.
Adapun auditor intern berpartisipasi dalam memberikan jasa advisory pada proses pengembangan program anti-fraud atau manajemen risiko fraud secara komprehensif dan jasa assurance atas keefektifan implementasi program anti-fraud atau manajemen risiko fraud. Pengembangan dan implementasi program anti-fraud atau manajemen risiko fraud harus mencakup jenis fraud berupa korupsi yang meliputi penyuapan, kickback, dan gratifikasi.
Penulis: Diaz Priantara, Board of IIA Indonesia, Board of ACFE Indonesia Chapter, Member of Ikatan Akuntan Indonesia, Member of Institut Akuntan Publik Indonesia, Member of Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Lektor Kepala Univ. Mercu Buana
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: