Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Apindo Menilai Regulasi Gambut Dapat Turunkan Daya Saing

        Apindo Menilai Regulasi Gambut Dapat Turunkan Daya Saing Kredit Foto: Vicky Fadil
        Warta Ekonomi, Pekanbaru -

        Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Riau menilai Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut berpotensi menurunkan daya saing produk turunan hutan tanaman industri (HTI).

        Ketua Apindo Riau Wijatmoko Rah Trisno di Pekanbaru, Jumat (28/4/2017), menyebutkan salah satu poin regulasi gambut tersebut adalah Nomor P.17 Tahun 2017 tentang Pembangunan Hutan dan Tanaman Industri yang berisi tentang adanya lahan usaha pengganti (land swap).

        Menurut Wijatmoko, sistem "land swap" bukanlah solusi yang baik.

        "Pertanyaannya apakah 'land swap' itu masih ada lahannya di Riau? Kalau 'land swap' itu dilakukan di luar Pulau Sumatra, justru akan mengakibatkan produksi biaya tinggi. Akibatnya, daya saing produk kita rendah," katanya.

        Permen LHK P.17/2017 merupakan salah satu dari aturan operasional dari PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

        Peraturan baru itu menuai banyak kritik karena merugikan dunia usaha dan investasi karena pengusaha hutan tanaman industri dan kelapa sawit berpotensi kehilangan areal garapan.

        Untuk itu, Apindo Riau meminta pemerintah dapat mengkaji ulang regulasi tersebut secara jernih dengan memperhatikan dampak-dampaknya secara luas.

        Selama ini, kata Wijatmoko, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Apindo Riau selalu kooperatif kepada pemerintah.

        "Kami bersedia membicarakan semua aspek untuk mencari solusi bersama," katanya.

        Pemberlakuan paket regulasi baru tentang gambut juga dikhawatirkan akan berimbas pada pengurangan tenaga kerja serta masyarakat yang telah menjadi binaan perusahaan.

        "Kalau kami tidak bisa berproduksi, tentu akan terjadi pengurangan tenaga kerja. Hal ini berpotensi menimbulkan kerawanan sosial yang akan menjadi persoalan negara juga," tambahnya.

        Selain itu, lanjut dia, perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK-HTI) juga banyak yang bekerja sama dengan koperasi yang dijalankan oleh masyarakat dan pengusaha kecil. Artinya, dampak aturan ini tidak hanya akan dirasakan perusahaan besar, tetapi juga pengusaha-pengusaha kecil dan masyarakat.

        Sejauh ini, Wijatmoko mengatakan bahwa dirinya sudah menerima keluhan dari serikat-serikat pekerja yang mempertanyakan sikap pengusaha terkait dengan aturan tersebut.

        Wijatmoko mengaku berusaha meredam keresahan pekerja agar jangan sampai ada tindakan yang kontraproduktif.

        Dalam waktu dekat, Apindo Riau juga akan melakukan komunikasi dengan Gubernur Riau untuk menyampaikan keluhan dan mencari jalan keluar bersama.

        Peraturan Menteri KLHK P.17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, kata dia, di dalamnya mengatur tentang perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung ekosistem gambut.

        Pada Pasal 8e menyebutkan bahwa perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung yang telah terdapat tanaman pokok pada lahan yang memiliki IUPHHK-HTI, tanaman yang sudah ada, dapat dipanen satu daur, dan tidak dapat ditanami kembali.

        Wajib dilakukan pemulihan dan dialokasikan sebagai kawasan fungsi lindung ekosistem gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI. Pasal tersebut membuat banyak pemegang IUPHHK-HTI berpotensi kehilangan sebagian area garapan.

        Selanjutnya, pada Pasal 8G menyebutkan bahwa pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diatur dengan peraturan menteri. (Ant)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: