Bank Indonesia (BI) menggelar seminar Internasional yang bertajuk "Central Bank's Role in the Macroprudential Policy" pada hari ini, Kamis (2/11/2017) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur BI Agus DW Martowardojo berbagi pengalaman mengembangkan kapasitas di bidang stabilitas makroprudensial dan sistem keuangan.
Langkah ini dilakukan bank sentral untuk menghadapi krisis keuangan global yang terjadi baik pada tahun 1997-1998 maupun krisis keuangan global 2008.
"Upaya ini didorong pengalaman dari krisis pada tahun 1997-1998, dimana risiko sistemik telah berdampak besar dan signifikannya biaya terhadap ekonomi, yakni sekitar 60 persen dari PDB (produk domestik bruto)," ungkap Agus.
Setelah itu, BI membentuk unit surveilans makroprudensial dan mengembangkan bingkai kerja stabilitas sistem keuangan. Ini termasuk sistem peringatan dini yang dapat mengidentifikasi kerentanan dan potensi risiko pada sistem keuangan.?
Hal inilah yang mendorong kemampuan untuk dapat mengelola sistem keuangan dengan baik. Pada akhirnya, krisis keuangan global tahun 2008 dapat dilalui dengan baik pula.?
"Ketika krisis keuangan global berada pada puncaknya, BI dengan kebijakan makroprudensialnya dapat mempertimbngkan langkah-langkah untuk menurunkan tekanan pada sistem keuangan dengan cepat dan presisi, didorong oleh pemantauan dan analisis yang kuat," ujar Agus.?
Agus pun menjelaskan, dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menerapkan berbagai instrumen kebijakan, termasuk pilihan kebijakan terkait pengelolaan likuiditas bank, terutama sebagai Lender of the Last Resort.?
"Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia dapat memberikan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas jangka pendek," tambahnya.
BI, imbuh Agus, juga memperkenalkan kebijakan Countercylical Capital Buffer (CCB). Kebijakan ini dimaksudkan untuk menurunkan dampak negatif siklus 'boom' pada sistem keuangan.?
"Kebijakan ini diaplikasikan dengan diciptakannya bantalan untuk industri perbankan guna memitigasi potensi risiko yang disebabkan berlebihnya risiko pada saat periode 'boom' terjadi," jelasnya.?
Sebaliknya, buffer yang sama akan digunakan untuk memberi lebih banyak ruang bagi bank untuk mendukung perekonomian pada periode bust. Meskipun demikian, dampak positif dari kebijakan CCB memerlukan waktu yang cukup untuk diterapkan dan tidak dapat langsung dilihat.
"Dengan demikian, BI sebagai otoritas makroprudensial secara berkala akan mengevaluasi efektivitas kebijakan makroprudensial sesuai dengan dinamika sistem keuangan," pungkas Agus.
Kemudian, kebijakan makroprudensial lain yang diberlakukan oleh BI adalah penerapan batas bawah dan batas atas Loan to Funding Ratio. Tujuannya adalah untuk memandu bank dalam mengelola portofolio pinjaman mereka dalam kisaran yang dapat ditoleransi dan mengelola pertumbuhan kredit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait: