Meski secara bertahap berhasil diturunkan, saat ini ketergantungan Indonesia pada alat kesehatan (alkes) impor masih relatif tinggi. Berdasarkan data izin edar yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Oktober 2017 baru 8% dari total 11.895 atau 966 izin edar yang dikeluarkan Kemenkes adalah alat kesehatan dalam negeri. Sementara 92% atau 10.893 izin merupakan alat kesehatan impor.
Dibanding tahun 2015, pangsa pasar produk alkes lokal memang menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 4% menjadi 8%. Namun, menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI) Ade Tarya Hidayat, angka ini masih sangat rendah dan bisa dipercepat pertumbuhannya jika dana APBN dialokasikan ke produk alkes dalam negeri.
"Diperkirakan dana APBN yang dialokasikan untuk belanja alkes mencapai Rp17 triliun per tahun. Jika sebagian besar dialokasikan untuk membeli alkes produk lokal maka kebutuhan alkes impor bisa diturunkan," ujar Ade Tarya saat ditemui usai konferensi pers yang digelar di sela Rapat Kerja Nasional Gakeslab Indonesia di Jakarta, Rabu (13/12/2017).?
Ade Tarya menambahkan bahwa kualitas alkes produk dalam negeri telah memenuhi standar internasional. Ia menjelaskan, produksi alkes dalam negeri memang masih terbatas alkes dengan teknologi menengah dan rendah, tetapi kualitas produknya tidak kalah dari produk dari luar negeri, termasuk Cina. Bahkan, tidak sedikit produsen alkes lokal yang telah mengekspor produknya ke luar negeri termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Ini artinya, produsen alkes Indonesia telah mampu memenuhi standar kualitas yang disyaratkan dunia internasional. "Jadi, tak ada alasan bagi industri kesehatan dalam negeri untuk tidak membeli, apalagi meragukan kualitas alkes produksi dalam negeri," tegasnya.
Jumlah produsen alkes dalam negeri juga menunjukkan peningkatan dari 215 perusahaan di tahun 2016 menjadi 226 perusahaan di tahun 2017. Menurut Ade, hal ini tak lepas dari diadakannya e-katalog oleh Kemenkes. Dengan e-katalog ini terbuka kesempatan lebih besar bagi produsen alkes lokal untuk memasarkan produknya. Namun demikian, ia menegaskan ada sejumlah langkah yang harus dilakukan jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ini lebih cepat.
Selain kemudahan perizinan, kemudahan impor bahan baku, pemerintah dalam hal ini Kemenkes juga didesak memberikan jaminan pembelian produk alkes yang dihasilkan perusahaan baru di dua tahun pertama mereka.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gakeslab Sugihadi M. W. menyebutkan saat ini ada 12 perusahaan anggota Gakeslab yang sedang bertransformasi menjadi produsen alkes dalam negeri dan tergabung dalam tim Inkubator yang dibentuknya.
Sugihadi menambahkan, Gakeslab Indonesia selalu komit untuk menjaga kualitas produk dan keselamatan pasien dalam pengadaan alat kesehatan di Indonesia. Ia mengatakan, sejak 2014, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 4/2014 tentang cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik (CDAKB) telah menyosialisasikan pentingnya penyaluran alat kesehatan (alkes) yang menjamin keselamatan pasien. CDAKB memegang peran penting dalam distribusi alat kesehatan atau alkes. Karena alkes membutuhkan perlakuan khusus, mulai dari tahap produksi/pengadaan, penyimpanan, cara pengiriman, pasca penyerahan hingga pemeliharaan. Kesalahan kecil yang terjadi dalam rantai ini bisa mengancam keselamatan pasien.
"Di sini, penerapan CDAKB menjadi penting dan membutuhkan investasi yang tinggi. CDAKB akan memastikan pengadaan alat kesehatan yang aman, berkualitas dan terpercaya yang sesuai dengan regulasi. Perusahaan yang menerapkan CDAKB menempatkan keselamatan pasien sebagai hal yang utama," ujar Sugihadi.
Sugihadi menambahkan, sejak dikampanyekan pada 2014 baru sekitar 87 perusahaan alkes yang tersertifikasi CDAKB. Hal ini dikarenakan tidak semua anggota Gakeslab adalah perusahaan besar yang mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Sementara cakupan alkes sangat luas dan kompleks. Namun demikian, Gakeslab berkomitmen untuk terus melakukan pelatihan guna meningkatkan kemampuan dan kapasitas anggotanya sehingga dari tahun ke tahun anggota yang mengantungi sertifikasi CDAKB terus meningkat.
"Keselamatan pasien tidak dapat dikompromikan hanya demi harga yang murah tanpa jaminan keamanan dalam jangka panjang. Alkes mengandung unsur teknologi yang cakupannya sangat luas, dari yang sederhana hingga canggih dimana dibutuhkan keahlian yang sangat khusus dalam penggunaannya. Selain itu, banyak produk alkes yang membutuhkan layanan purna jual, pemeliharaan, dan kalibrasi secara berkala sehingga semua kegiatan distribusi yang dilakukan oleh anggota Gakeslab harus mencakup pendidikan, pelatihan, pemeliharaan, perbaikan, dan kalibrasi," lanjut Sugihadi.
Sugihadi mengakui jumlah anggota Gakeslab dan ASPAKI yang dapat mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres No. 10/2010 yang diperbarui dengan Perpres No. 4/2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, saat ini masih terbatas. Hal ini dikarenakan kesempatan yang diberikan oleh pemerintah masih terbatas untuk alkes yang jumlahnya jutaan.
Standar harga yang dipatok juga dinilai terlalu rendah sehingga dikhawatirkan akan mendorong pihak yang tidak bertanggung jawab mengorbankan faktor kualitas dan keamanan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah