Ekonom Faisal Basri menilai keputusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2018? terkait dialihkannya saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN kepada PT Pertamina (Persero) akan membuat pekerjaan rumah Pertamina semakin berat.
Lanjutnya, ia menjelaskan tugas Pertamina yang utama adalah menekan jumlah impor minyak mentah maupun Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini jumlahnya mencapai 734 ribu barel per hari (bph) demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Sepanjang 2017, defisit perdagangan minyak kita sebesar US$ 14,7 miliar. Efeknya lari ke rupiah yang terus melemah, cadangan devisa yang tergerus. Jadi tugas Pertamina itu sudah sangat berat, dan di tengah tugas yang berat itu dia ditambahi pekerjaan mengambil PGN," Katanya kepasa wartawan di Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Selain itu katanya, sebagai perusahaan publik sebenarnya PGN sudah berada di jalur yang benar karena menerapkan prinsip good governance dalam menjalankan operasinya.??
"Pasalnya, kinerja keuangan PGN selalu diaudit dan selalu melaporkan rencana bisnis serta laporan keuangannya kepada Bursa Efek Indonesia." Ujarnya.
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas menambahkan, dirinya memiliki hasil kajian yang dilakukan oleh para akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang menyatakan bahwa holdingisasi BUMN Migas akan merugikan negara.
Menurutnya, hasil kajian tersebut sudah diserahkan kepada anggota Dewan Pertimbangan Presiden kepada Jokowi.
"Tetapi Presiden malah meneken PP tersebut, jadi teman-teman di UGM lemas semua karena kalah hasil kajiannya," tambahnya.
Sementara itu, ia menyikapi keputusan keputusan Jokowi untuk meneken PP tersebut,
"Sudah menjadi tugas para akademisi atau teknokrat untuk mengingatkan seorang kepala negara atas kebijakan publik besar yang akan diambilnya." Tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Vicky Fadil
Editor: Vicky Fadil