Pembenahan regulasi terkait pekerja migran dinilai lebih mendesak dilakukan dibanding rencana untuk uji coba penempatan pekerja migran.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy, menuturkan, terkait rencana pemerintah untuk melakukan uji coba, hal ini boleh saja dilakukan tapi harus didahului adanya pembenahan regulasi. Uji coba tanpa pembenahan regulasi sama saja dengan mengulang kesalahan yang sama.
"Pembenahan penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas para pekerja migran Indonesia, meringankan beban finansial yang harus ditanggung saat pendaftaran, dan memastikan perlindungan mereka di negara tujuan kerja," tutur Imelda dalam keterangan yang diterima di Jakarta,?Rabu (20/6/2018).
Menurut Imelda, penyederhanaan regulasi pendaftaran harus dilakukan supaya menjadi lebih mudah dan lebih murah. Regulasi yang perlu disederhanakan antara lain adalah penyederhanaan persyaratan dan besaran biaya pendaftaran serta penyederhanaan proses pemeriksaan kesehatan.
Untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp 8 juta atau US$600 dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. Biaya sebesar ini setara dengan 2/3 upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa.
Hal ini tentu saja menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran. Rumitnya regulasi juga membuat mereka terpaksa bergantung pada calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi mereka tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan.
CIPS juga memandang perlunya evaluasi mengenai kurikulum yang diajarkan kepada calon pekerja migran di Balai Latihan Kerja (BLK). Kurikulum yang diajarkan sebaiknya juga mengandung materi mengenai kebudayaan dan bahasa dari negara tujuan, selain tentang pekerjaan.
Pemerintah bisa memaksimalkan peran Puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran untuk menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran. Durasi pelatihan yang berlangsung selama dua bulan seharusnya dikurangi agar mereka tidak kehilangan potensi pendapatan.
"Pemerintah seharusnya menggunakan basis data E-KTP untuk perlindungan pekerja migran. Dengan menggunakan E-KTP yang dapat diakses secara online, proses pencocokan data akan jadi lebih mudah serta dapat menghindari pencatatan data secara ganda atau tidak akurat," urai Imelda.
Lanjut Imelda, hasil dari validasi data ini dapat digunakan sebagai instrumen pemerintah untuk melakukan proses monitoring serta track and trace. Dengan adanya validasi data, pemerintah dapat mengetahui secara faktual dan konkret jumlah pekerja migran Indonesia yang sedang bermukim dan bekerja di luar negeri.
"Dengan demikian, proses ini memungkinkan pekerja migran yang sedang mengalami kasus hukum untuk mendapatkan bantan hukum sedini mungkin dan memungkinkan penyelesaian kasus secara damai," kata Imelda.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu