Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kontroversi Status Bencana Lombok

        Kontroversi Status Bencana Lombok Kredit Foto: Antara/Ahmad Subaidi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Saya diminta menjawab pertanyaan jurnalis, beberapa kali. Saya enggan menjawabnya. Tapi jurnalis yang satu ini cukup gigih, sampai akhirnya saya jawab juga. Tentang gempa Lombok. Jurnalis mendesak, gempa Lombok yang meluluh-lantakkan banyak rumah, juga bangunan vital penyangga kelayakan sebagai wilayah berpemerintahan, tak membuat pemerintah memberi status: Bencana Nasional. Apakah ACT setuju, skala dampak gempa Lombok layak disebut Bencana Nasional?

        ACT berpikir dalam-dalam sebelum memutuskan untuk berpendapat atau tidak berpendapat. Kalaupun berpendapat, bukan terlanjur bicara. Sudah disadari impaknya. Kami timbang betul, mengiyakan gempa Lombok layak berstatus Bencana Nasional karena beberapa hal.

        Pertama, dari sisi pemerintah, pusat maupun provinsi hingga unit pemerintahan terkecil. Perulangan gempa ini baik untuk disikapi secara spiritual. Alam yang bereaksi keras, di luar kendali manusia. Bijak meresponsnya dengan mengakui kemahakuasaan Allah. Tidak rugi menyiapkan diri bahwa setiap gempa susulan, laksana teguran. Kualifikasi gempa susulan, kian besar. Impak yang ditinggalkan pun melebihi sebelumnya. Getaran yang lebih kuat, menjejakkan kerusakan yang lebih besar bahkan memakan korban.

        Kedua, dari sisi masyarakat Lombok. Kami merasakan ketegaran. Spiritualitas. Diterpa kerusakan parah atas pemukimannya, kehidupannya sontak berubah, masyarakat Lombok mampu mengelola batinnya. Bahkan bersiap menerima gempa susulan kalau langit berkehendak - meski sekian kali diguncang dan ada yang terdampak; mungkin harta bendanya tertimbun reruntuhan, diri atau sanak- saudara cedera bahkan berpulang. Ketegaran dan spiritualitas Lombok, magnit simpati dan empati. Indonesia dan dunia belajar tegar dari Lombok. Perulangan gempa yang intens, tak mengubah masyarakat berburuk sangka kepada Allah.

        Ketiga, dari sisi pegiat kemanusiaan. Gempa Lombok sejak guncangan pertama hingga saat ini, belum tiga bulan berlalu. Keliru kalau kepedulian atas Lombok akan segera berakhir. Selepas tiga bulan, Lombok tidak bisa dibiarkan sendiri. Sumber daya Lombok belum bisa normal untuk memulihkan diri. Lombok perlu ditemani dengan pendampingan banyak tangan. Pemerintah pusat dan daerah harus sanggup memastikan, pemulihan Lombok tidak akan mengubah sendi dasar karakter Lombok; kekuasaan pemerintah digunakan sepenuhnya untuk menjaga keutuhan karakter dan nilai-nilai kultural Lombok. Bahkan menjadi ruang hebat berkarya kemanusiaan.

        Yang dulu miskin dan terpinggir, dimuliakan. Yang terabai dan tersubordinasi dimanusiakan dan diperhatikan nasibnya. Gempa Lombok, momentum adu kesalihan berkarya kemanusiaan. Mengerti pelajaran gempa Lombok, dimaknai dengan amal terbaik membangun Lombok, adu hebat merayu langit dengan semua hal baik yang disukaiNya.

        Pegiat kemanusiaan ACT khawatir tidak cukup prima memuliakan shahibul musibah. Semoga semua elemen yang berkiprah merespons gempa Lombok sejalan. Kami khawatir, alasan menahan status gempa Lombok bukan bencana nasional, tidak memaksimalkan penyelamatan jiwa di Lombok. Tidak memaksimalkan gerakan kepedulian untuk Lombok. Akhirnya juga melemahkan upaya lanjut memulihkan Lombok.

        Ada fenomena ekstrem: keinginan khalayak berbuat lebih signifikan untuk Lombok; berhadapan dengan tetap bertahannya pemerintah menetapkan gempa Lombok bukan bencana nasional.

        Gempa terus bersusulan; getarannya sesekali lebih besar. Kecepatan kerusakan melebihi kemampuan membangun. Kalau teguran langit terus diabaikan, berikutnya apa yang bakal terjadi? Maha Penguasa Alam, Maha Tahu yang akan diberlakukanNya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Cahyo Prayogo

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: