Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ketika Inalum (Akan) Bawa Pulang Freeport

        Ketika Inalum (Akan) Bawa Pulang Freeport Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Setelah head of agreement (HoA) disepakati antara PT Inalum dan Freeport McMoran Inc, tiga kesepakatan lanjutan HoA akan menentukan kembalinya tambang Grasberg ke Bumi Pertiwi setelah 50 tahun dalam dekapan Freeport. Dua bulan sejak HoA menjadi waktu yang menentukan. Pasca-Freeport di tangan, Inalum membidik untuk menjadi perusahaan yang masuk Fortune 500.

        Sesekali wajah Budi Gunadi Sadikin (BGS) memperlihatkan kekesalan atas respons kurang pas para politisi? umumnya dari partai oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo?atas ditandatanganinya head of agreement antara Inalum atas nama Pemerintah Republik Indonesia dan Freeport McMoran Inc di Gedung Kementerian Keuangan, 12 Juli 2018.

        Direktur Utama (Dirut) Inalum ini terkadang hanya bisa menarik nafas kala menyimak kritikan yang meleset jauh dari substansi HoA. Ia menyadari HoA hadir di saat tensi politik di dalam negeri sedang tinggi dan sensitif. HoA pun dituding sebagai "politik pencitraan" Presiden Joko Widodo menjelang kontestasi di Pilpres 2019.

        Sebagai mantan bankir, BGS mengakui tidaklah mudah menjelaskan sebuah transaksi yang terbilang kompleks dari HoA ke publik. Ia bercerita betapa untuk menjelaskan ke sejumlah petinggi di kementerian dan aparat penegak hukum terkait transaksi ini, memakan waktu lumayan panjang baru bisa menangkap esensi HoA. Apa pula kalau esensi HoA ini coba dibuka ke publik. Bukanlah maksud mantan Presiden Direktur Bank Mandiri ini tidak mau terbuka atas HoA, tapi khawatir tidak dipahami sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang dan pendidikan. HoA ini murni business to business.

        Namun, dalam forum terbatas dengan petinggi media massa?media cetak, media online dan elektronik?alumni Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB) 1980 ini membuka tabir transaksi yang jelimet itu. Salah satu isu yang menohok terkait HoA: Kenapa Inalum mesti membeli hak participating interest PT Rio Tinto Indonesia dan bukan membeli saham PT Freport Indonesia?

        Untuk menjelaskan soal ini, BGS mesti menengok sejarah perjalanan kehadiran Freeport McMoran menggarap lahan tambang Esberg dan Grasberg di Timika, Papua. Ketika Freeport menemukan lokasi tambang baru Grasberg pada 1988, deposit emasnya terbilang besar. Untuk menggarap tambang ini, perusahaan tidak cukup memiliki dana. Diajaklah Rio Tinto Plc?listed company di London yang merupakan induk semang PT Rio Tinto Indonesia (RTI) ?untuk menggarap tambang itu melalui participating agreement pada 1995. Inti perjanjian, 40% dari produksi Freeport di atas level yang disepakati (metal strip) menjadi bagian Rio Tinto, sisanya (60%) bagian Freeport. Perjanjian ini berlaku sampai Kontrak Karya II Freeport berakhir pada 2022. Setelah itu, hak participating interest Rio Tinto akan dikonversi menjadi saham dengan formulasi satu banding satu. Perjanjian ini mendapat restu pula dari Pemerintah RI cq Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita.

        Kehadiran Rio Tinto inilah yang menjadi picu kompleksitas proses divestasi saham Freeport. Pasalnya, meski Pemerintah RI yang kini diwakili PT Inalum memiliki 9,36% saham (equity interest) di Freeport, tapi secara ekonomi (economic interest) hanya mendapatkan 5,62% dari produksi Freeport. Angka ini diperoleh setelah memperhitungkan hak participating interest Rio Tinto sebesar 40% dari produksi. Misal, total produksi tambang Freeport sebesar 100 ribu ounce, 40% dari jumlah itu atau 40 ribu ounce adalah bagian Rio Tinto. Sisanya, 60 ribu ounce dibagi ke Inalum dan Freeport sesuai besaran kepemilikan saham (economic interest). Jatah Inalum 5,62% dari 60 ribu ounce atau sebesar 3.372 ounce dan sisanya sebesar 56.628 ounce bagian Freeport.

        Kalau perjanjian Freeport dan Rio Tinto ini dibiarkan sampai masa KK-II berakhir akan bikin ruwet lagi upaya Inalum menguasai 51% saham Freeport. Pasalnya, pasca 2022, Rio Tinto berhak mengonversi 40% hak participating interest menjadi saham dengan satu banding satu. Membaca gelagat bakal jadi ribet kalau dibiarkan sampai 2022, Inalum pun memajukan proses tersebut menjadi sekarang ini. Tidak ada pilihan bagi Inalum kecuali mengambil alih hak participating Rio Tinto tersebut. Kebetulan pada 2017, CEO Rio Tinto sempat melempar sinyal ke pasar bahwa perusahaannya bermaksud keluar dari Grasberg. Inilah pintu masuk Inalum untuk menguasai 51% saham Freeport.

        Divestasi 51% saham Freeport merupakan butir keempat dari kesepakatan antara Pemerintah RI dan Freeport McMoran pada 27 Agustus 2017. Apabila salah satu dari keempat butir itu tidak diterima Freeport maka Pemerintah RI tidak akan memperpanjang pengoperasian lahan tambang Grasberg. Konsekuensinya, aset Freeport yang ada di Grasberg akan di lego ke pihak ketiga atau ditawarkan ke Pemerintah Indonesia. Taksiran nilainya mencapai US$6 miliar. Dan lagi potensi dispute antara Pemerintah RI dan Freeport terkait penghentian tersebut yang akan dibawa ke arbitrase internasional. Proses ini memakan waktu dan biaya serta menghentikan operasional tambang, dampaknya tenaga kerja dan raibnya pemasukan ke pemda dan pemerintah pusat.

        One Step Ahead

        Pasca ditandatanganinya HoA, Inalum merancang tiga perjanjian lagi. Ketiga perjanjian itu yakni, sales and purchase agreement pembelian 100% saham PT Rio Tinto Indonesia selaku pemegang hak participating interest di Freeport. Dengan berbekal penguasaan hak participating itu, Inalum akan datang ke Freeport untuk ditukarkan menjadi saham. Freeport pun keberatan karena itu baru bisa terjadi setelah 2022 sesuai kesepakatan. Setelah negosiasi panjang dan alot, Freeport akhirnya bersedia untuk share swap agreement tersebut. Saat ini, Inalum tinggal menuntaskan tiga perjanjian lagi pasca-ditandatangani HoA tersebut.

        "Head of agreement merupakan kesepakatan yang belum mengikat (nonbinding) yang lazim dalam dunia bisnis yang menyepakati hal-hal pokok dari sebuah perjanjian yang akan diikat," bunyi keterangan pers Rio Tinto yang dirilis pada waktu yang sama dengan ditandatanganinya HoA.

        HoA sebagai sebuah kesepakatan yang nonbinding memang sempat menjadi sorotan luas publik. Bagi para pengkritik, tidaklah ada maknanya sebuah kesepakatan yang tidak mengikat mesti dilakukan apalagi dikesankan sebagai kesepakatan "final" yang seolah-olah Indonesia menguasai 51% saham Freeport. HoA pun dituding hanya bagian dari politik pencitraan Presiden Jokowi. Bahkan, politisi senior Amien Rais menuding Freeport menggelapkan pajak dan seperti negara dalam negara.

        Meski dihujani banyak kritik atas penandatanganan HoA, salah satu butir kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam yang dihadiri jajaran direksi PT Inalum, 27 Juli 2018, menyatakan mendukung upaya pemerintah dan Inalum melanjutkan proses divestasi 51% saham Freeport Indonesia.

        "Kami mendukung langkah pemerintah melanjutkan negosiasi divestasi 51% saham Freeport demi kepentingan Indonesia," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Syikhul Islam Ali.

        Memang harus diakui, terbilang alot setiap mengajak Freeport untuk berdialog. Ketika Bos Freeport McMoran, Richard Adkerson, akhirnya mau menandatangani HoA, sejatinya penuh dengan perjuangan. Menteri ESDM Ignatius Jonan dikabarkan sampai harus bolak-balik ke markas Freeport McMoran di Amerika Serikat guna meyakinkan Richard Adkerson. Walhasil, pada 29 Agustus 2017, Pemerintah RI dan Freeport McMoran sepakat menandatangani empat butir kesepakatan yang mana butir keempat terkait divestasi 51% saham Freeport Indonesia.

        "Kami meminta jaminan atas investasi yang sudah dibenamkan keberlanjutannya bagaimana," ujar Wakil Presdir PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, beberapa waktu lalu.

        Dengan sudah adanya kesepakatan tersebut, Freeport berhak mendapat perpanjangan kontrak operasi di Grasberg 2x10 tahun hingga tahun 2041. Dari kesepakatan ini pula berlanjut ke head of agreement (HoA) yang akan ditindaklanjuti dengan tiga kesepakatan lagi. Realisasi tiga kesepakatan baru inilah yang kini sedang digeber habis-habisan agar bisa terjadi dalam kurun dua bulan sejak ditandatanganinya HoA pada 12 Juli 2018 atau paling lambat akhir Desember 2018. Di tiga kesepakatan yang sedang digodok Inalum inilah yang akan menentukan kembalinya tambang Grasberg ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah 50 tahun dalam dekapan Freeport.

        Sorotan publik lainnya, dari mana duit untuk membeli 100% saham PT RTI yang memiliki hak participating interest di Freeport? Sebagai mantan bankir di sebuah bank BUMN papan atas, perihal pendanaan terbilang gampil (baca: mudah). Ia membuka laporan keuangan PT FI. Pada 2018 diproyeksikan pendapatan Freeport sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (earning before interest, taxes, depreciation, amortization atau EBITDA) sebesar US$4 miliar. Lalu, kelaziman yang berlaku di perbankan internasional berani memberi kredit sampai 20x EBITDA atau sebesar US$80 miliar. Sedangkan nyali perbankan nasional hanya berani mengucurkan 3x EBITDA atau sebesar US$12 miliar.

        "Kebutuhan dana untuk proses divestasi ini sebesar US$3,85 miliar atau jauh di bawah plafon perbankan nasional apalagi bank asing," ujar Budi Gunadi Sadikin.

        Kabarnya, sejumlah bank-bank asing siap mendanai divestasi 51% saham Freeport ini. Jadi, dari sisi pendanaan bukan masalah. Karena uang bukan dari kocek perusahaan atau bukan diambil dari APBN, kenapa mesti berutang untuk membiaya divestasi? Dari perhitungan Inalum, akan lebih menguntungkan apabila menggunakan dana pinjaman untuk membeli saham Freeport baik ditinjau dari sisi return on equity (ROE), cash flow, maupun tingkat internal rate of return (IRR).

        IRR mengukur tingkat efisiensi dari satu investasi dengan menghitung tingkat bunga saat investasi dengan proyeksi penerimaan kas bersih di masa mendatang. Lepas dari isu kontrak dan pendanaan, satu isu lagi menghadang yakni terkait masalah lingkungan hidup. Setumpuk isu besar lingkungan siap menghadang Freeport.

        Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan ada 48 sanksi lingkungan dijatuhkan kepada Freeport, 42 sanksi sudah diselesaikan, tinggal lima sanksi lagi yang perlu diberesi. KLHK menyorot khusus limbah tailing Freeport yang mencemari lautan. KLHK meminta Freeport mengkaji pemanfaatan tailing jadi batu bata atau material untuk membangun jalan. Apabila masalah lingkungan ini tidak dibereskan, IUPK Freeport tidak akan keluar.

        "Kami memberi tenggat waktu sampai November 2018 untuk Freeport memberesi masalah lingkungan hidup ini," tandas Siti Nurbaya.

        Hilirisasi & Fortune 500

        Pada 29 November 2017, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) resmi menjadi induk semang atau holding company (holdco) BUMN tambang, seperti PT Timah Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, dan PT Freeport Indonesia meski saat ini kepemilikan saham Inalum masih minoritas yakni 9,36%. Seandainya, tindak lanjut HoA berjalan mulus, Inalum menjadi pemegang saham pengendali Freeport.

        Ada tiga misi besar yang diemban Inalum selaku holdco BUMN tambang plus PT FI, yakni menguasai cadangan dan sumber daya mineral di Indonesia, hilirisasi produk & kandungan lokal, dan menjadi perusahaan tambang kelas dunia (masuk dalam daftar Fortune 500).

        "Selama ini belum ada satu model pelaporan terkait cadangan tambang yang dikuasai perusahaan tambang," ujar BGS.

        Ia mengusulkan agar negara ini punya "neraca sumber daya alam" yang mencatat jumlah cadangan tambang. Dengan adanya neraca tersebut, akan memberi kemudahan dalam mencatat lokasi tambang, besar kandungannya, dikelola siapa, hingga pindah ke perusahaan mana. Tanpa ada neraca SDA itu, pernah ada kejadian ketika Bukit Asam kehilangan aset sampai satu miliar ton batu bara tanpa ada yang tahu ke mana larinya. Hal ini bisa terjadi karena tidak tercatat. Dari pengalaman inilah BGS bermaksud untuk mendokumentasikan semua SDA tambang.

        PT BA punya cadangan (reserve) batu bara sebesar 3,3 miliar ton dan resource sebesar 8,3 miliar ton dengan tingkat produksi 25 juta ton per tahun atau baru akan habis pada 150 tahun lagi. Mencermati perkembangan zaman yang akan meninggalkan sumber energi kotor, seperti batu bara, dan beralih ke green energy, PT BA mempercepat proses produksinya jadi 60 juta ton per tahun. Tujuannya agar ketika batu bara sudah tidak lagi menjadi andalan sumber energi, perusahaan sudah siap dengan program lanjutan yakni hilirisasi.

        Hilirisasi di batu bara bagaimana mengolah menjadi batu bara cair yang menjadi sumber energi lebih bersih dari aslinya. PT BA membangun coal gasification di Tanjung Enim, Sumatra Selatan dengan investasi US$1,6 miliar dengan kapasitas 2.600 ton/hari pupuk urea.

        BGS menyadari betapa mahalnya biaya proyek hilirisasi tambang ini. Contoh lain, kewajiban PT FI membangun pabrik smelter untuk mengolah hasil tambang menjadi produk olahan. Biaya membangun pabrik smelter Freeport berkapasitas tiga juta ton per tahun sebesar US$3 miliar. Dari 2,5 juta ton hasil tambang Grasberg di Tembagapura, sekitar 60% mineral konsentrat akan diekspor, sisanya 40% akan diolah di pabrik smelter yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur.

        Mahalnya membangun pabrik pengolahan bahan galian tambang ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi Inalum ke depannya. Begitu pula ketika Inalum menjadi pengendali PT FI setelah menguasai 51% saham akan dihadapkan pula pada penuntasan pembangunan smelter tersebut.

        Pekerjaan rumah terbesar lain dari Inalum yakni membawa holdco BUMN tambang ini untuk menjadi pemain global. Setidaknya, target yang dipatok Kementerian BUMN ke BGS agar membawa Inalum masuk dalam daftar perusahaan di Fortune 500. Sebuah target yang tidak mudah pula untuk digapai meski sudah memasukkan kekuatan baru seperti PT FI di dalamnya. Ditinjau dari sisi aset, Inalum membukukan angka US$6,8 miliar atau jauh di bawah Rio Tinto yang mencapai US$95 miliar.

        Begitu juga dari sisi pendapatan (revenue) di angka US$3,5 miliar sedangkan Rio Tinto sudah membukukan angka US$40 miliar. Apa lagi kalau dilihat laba bersih (net profit) hanya US$0,5 miliar, berbanding US$9 miliar milik Rio Tinto.

        "Kami coba berupaya agar bisa masuk dalam Fortune 500 dengan sinergi antaranak usaha perusahaan," ujar BGS dengan nada optimis bahwa target itu akan tercapai dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, menemani PT Pertamina (Persero) yang sudah duluan nangkring di daftar Fortune 500.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Heriyanto Lingga
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: