Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah mengatasi berbagai macam persoalan petani kelapa sawit, antara lain penyelesaian kebun petani dalam kawasan hutan, legalitas lahan, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga sawit yang anjlok, hingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mensubsidi biodiesel.
"Jika tidak (atasi), maka petani akan sulit sejahtera dan berkelanjutan," kata Kepala Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andry dalam konferensi pers memperingati Hari Tani Nasional di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Seperti diketahui pemerintah telah menetapkan 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan?tersebut mengacu pada tanggal disahkannya Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong- Rotong (DPR-GR). UUPA dibuat untuk mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria.
SPKS, lanjut, Marselinus mengapresiasi langkah pemerintah atas pelaksanaan program peremajaan sawit rakyat (PSR) di beberapa provinsi. Namun demikian, SPKS melihat program PSR ini terkesan setengah-setengah karena pemerintah sebenarnya gagal paham bahwa replanting bukanlah masalah pokok yang dibutuhkan petani.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai solusi bagi perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan, walaupun presiden sudah mengelurkan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit.
"Pasalnya tidak ada kejelasan 20% yang dilepaskan dari kawasan hutan untuk subyek petani seperti apa, di mana, dan berapa luasan petani kelapa sawit yang bisa dibebaskan, juga alokasi untuk petani dari Hak Guna Usaha (HGU). Artinya terjadi ketidakjelasan bagi masa depan petani sawit," tegasnya.
Namun demkian, SPKS tetap meminta? agar pemerintah berhati-hati melakukan legalisasi terhadap lahan petani kelapa sawit dalam kawasan karena banyak juga di antaranya ysng 'mengaku petani',?padahal sawit bukan pekerjaan utamanya atau mereka tidak tinggal di pedesaan.
"Kami juga menyoroti konflik dalam kemitraan antara perusahaan dan petani. Konflik ini tidak pernah ada perubahan dari tahun ke tahun akibat skema kemitraan yang tidak adil," ujarnya.
Selain persoalan di atas, petani sawit mengalami keresahan dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang mengalami penurunan drastis. Dari catatan SPKS, kondisi ini terjadi di seluruh wilayah perkebunan kelapa sawit hingga mencapai harga terendah, yaitu Rp500-Rp1.050 per kilogram. Kondisi ini akibat skema pembelian TBS belum diatur secara tepat.
"Tetapi? pemerintah tidak melakukan apa-apa," tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: