Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Buruh Tuntut Kenaikkan UMP 20-25%, Pengusaha Khawatirkan Bermuatan Politis

        Buruh Tuntut Kenaikkan UMP 20-25%, Pengusaha Khawatirkan Bermuatan Politis Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Terkait peraturan pemerintah mengenai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen dengan memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, justru ditolak kaum buruh yang meminta kenaikan UMP 20-25 persen.

        Tuntutan buruh tersebut dikhawatirkan oleh pengusaha sebagai aksi yang bermuatan politik. Hal ini diutarakan pengusaha Jahja B Soenarjo kepada Warta Ekonomi, Sabtu (20/10/2018).

        "Tuntutan buruh yang ingin angka 20-25 persen ini dikhawatirkan secara tidak langsung lebih bermuatan politis untuk menarik simpati kaum buruh, dan digemborkan oleh organisasi buruh yang selama ini cukup vokal," ungkap Jahja.?

        Dalam sitiuasi tekanan ekonomi global seperti yang terjadi akhir-akhir ini dan membawa efek domino di berbagai sisi, menurut Jahja, salah satu upaya agar dunia usaha dan masyarakat dapat bertahan adalah dengan efisiensi. Bagi Jahja, hal ini bukan berarti menurunkan atau menekan upah buruh, namun lebih kepada penetapan rasio biaya yang masih dapat membuat perusahaan bertahan dan kompetitif.?

        "Kalau dibilang, apakah masayarakat buruh sudah sejahtera, mungkin dapat dikatakan sebagian besar sudah. Sekarang tinggal mereka cerdas mengelola dan membelanjakan uang. Jangan kian besar upah malah menjadi kian konsumtif, sehingga otomatis mendorong permintaan pasar dan mekanisme ini sejalan hukum permintaan dan penawaran, akan membuat harga barang naik (inflasi) karena ada daya beli. Ini bisa, katanya semakin besar gaji, karyawan juga akan semakin boros," ujar Jahja.

        Di sisi lain, ia juga mengkhawatirkan para investor yang selama ini terus diupayakan untuk masuk berinvestasi di Indonesia, mengurungkan rencana investasinya, mengingat tidak adanya kepastian hukum dan kurangnya citra positif lara buruh Indonesia.

        "Sehingga investor yang akan masuk menjadi ragu, dan yang sudah ada bisa-bisa angkat kaki. Pabrik tutup, produksi terganggu, maka peluang buat barang impor berpotensi banjir masuk untuk pasar yang kosong. Tingkat pengangguran kembali meningkat, lalu Pemerintah diteriakin lagi, tidak bisa menciptakan lapangan kerja," katanya.

        Menurutnya, yang mematikan industri sebenarnya adalah sekelompok orang yang mendorong melakukan aktivitas protes dan kontraproduktif, tanpa pernah bisa membimbing dan menjamin bahwa buruh akan lebih produktif, berbanding lurus dengan kenaikan upahnya.

        "Pengusaha saat ini memiliki keterbatasan, padahal harus menghadapi berbagai hambatan dari dalam maupun ancaman dari luar. Cobalah dipahami dan dikaji , diberi bimbingan dan evaluasi secara konsisten, agar para buriuh perusahaannya lebih produktif, kreatif, inovatif dan tetap sejalan dengan tujuan perusaan. Angkla 8, 03 persen masih cukup baik dan bisa diterima. Tinggal kita semua harus cerdas mengelola," tegas Jahja.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ning Rahayu
        Editor: Clara Aprilia Sukandar

        Bagikan Artikel: