Pakar sektor properti Erwin Kallo menyebutkan tindakan pengembang properti menyuap birokrat pemerintah menjadi hal "lumrah" dilakukan untuk mengurus perizinan.
"Tidak ada proyek properti di Indonesia yang tidak pakai suap atau pungli. Kenapa itu terjadi? Karena memang rentang perizinannya itu terlalu panjang dan terlalu banyak," kata Erwin di Jakarta, Minggu.
Selain Kementerian Luar Negeri dan TNI, Erwin mengungkapkan pengembang properti di Indonesia berurusan dengan seluruh sektor lembaga pemerintahan.
Dikatakan Erwin, pengembang properti berada pada posisi sulit dalam menjalankan bisnis dan memenuhi harapan konsumen di Indonesia karena menjadi "korban" birokrasi yang tidak sehat.
Erwin menuturkan kasus suap yang menyeret pimpinan perusahaan Meikarta dan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi Jawa Barat merupakan contoh pengembang properti "terpaksa" harus menyuap birokrat karena jika tidak membayar maka proses perizinan tidak berjalan.
"Suap itu bukan berarti ada masalah. Tidak ada masalah pun harus suap. Di Indonesia ini benar pun pakai ongkos. Bayar itu untuk apa? Untuk percepatan, karena bisnis itu masalah waktu," tambah Erwin.
Dia menjelaskan penundaan suatu proyek karena perizinan akan menimbulkan biaya yang cukup besar terhadap proyek tersebut seperti biaya "overhead" yang akan membengkak jika terjadi penundaan proyek.
Erwin menggambarkan proses perizinan yang harus diurus pengembang cukup rumit mulai pembebasan lahan, sertifikasi tanah hingga izin mendirikan bangunan (IMB).
Sementara itu, praktisi hukum Eddy Marek menegaskan praktek suap dan pungli yang terjadi dalam kasus properti terkait pertama masalah mentalitas birokrat.
Kemudian, persoalan lainnya karena perangkat hukum, saat ini pemerintah sudah memiliki "online single submission" (OSS) yang merupakan platform yang baik sehingga pejabat pemerintah daerah harus mengikuti prosedur yang ada.
"Akibat kelemahan dua hal yaitu mentalitas dan perangkat hukum, halini masih terus terjadi. Saya pernah mendengar salah satu pejabat pemerintah sendiri mengatakan pengembang serba salah, di satu sisi jika tidak mendekati pejabat, izinnya dipersulit atau tertunda atau diurus setengah hati, tapi di sisi lain, jika pihak pengembang terus mendekati, maka ada risiko ditangkap karena melakukan kolusi," ucap Eddy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat