Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Era Disrupsi, Sektor Pertanian Makin Efisien dan Efektif

        Era Disrupsi, Sektor Pertanian Makin Efisien dan Efektif Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Para petani dan dunia pertanian harus mampu menghadapi perkembangan zaman di era disrupsi, yakni masa di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar di berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut berlangsung amat cepat dan tak ada satu orang pun mampu menghentikannya.

        Ketua?Umum?Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko menyatakan, mereka yang tak bisa mengikuti perkembangan di era disrupsi akan tertinggal dan tergilas yang kemudian menyalahkan orang lain. Perubahan cepat tersebut telah mendorong dunia memasuki era revolusi industri keempat (industri 4.0) yang ditandai dengan penggunaan mesin-mesin otomasi yang terintegrasi dengan jaringan internet. Pada era ini, kegiatan pertanian berlangsung efisien dan efektif, sehingga mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan dan berdaya saing.

        Ada lima teknologi utama yang menopang implementasi industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, Robotic dan sensor, serta 3D Printing. Semua itu akan mengubah cara manusia berinteraksi hingga pada level yang paling mendasar, sekaligus dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri, termasuk pertanian.

        Revolusi industri 4.0 menjadi titik balik fundamental bagi perubahan pada berbagai sektor pertanian, tidak terkecuali pada agro industri.

        Maka, era digitalisasi pada revolusi industri 4.0, mau tidak mau membuat para pemangku kepentingan di sektor pertanian harus mampu mempersiapkan diri dan berdaptasi dengan perubahan tersebut untuk menjawab tantangan masa depan, serta mengubah ancaman menjadi peluang.

        Namun masalahnya, seperti negara lain, Indonesia juga menghadapi era industri 4.0 yang arahnya belum benar-benar dipahami.

        "Harus diakui sebagian besar petani kita masih bertani secara tradisional dan masih memiliki lima persoalan krusial. Persoalan itu adalah?pertama, pemilikan lahan yang terbatas, rata-rata hanya 0,2 hektare. Kedua, kondisi tanah yang sudah rusak akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Ketiga, aspek kurangnya permodalan dan rendahnya kualitas manajemen. Keempat, lemahnya penguasaan teknologi. Dan, kelima adalah kesulitan dalam penanganan pascapanen," kata dia di Jakarta, Kamis (13/12/2018).

        Menghadapi situasi ini, HKTI hadir dengan memerankan diri sebagai bridging institution?dalam memecahkan persoalan petani tadi. HKTI berusaha menjembatani petani dengan pemerintah, dunia riset, dan para pebisnis atau pengusaha. Jika keempat unsur tadi bisa dijembatani dengan baik, maka semua kepentingan bisa diakomodasi dengan baik pula.

        Dalam hal teknologi, HKTI mengembangkan bibit padi unggul varietas M400 dan M70D yang mampu menghasilkan panen lebih dari 9 ton per hektare, serta pupuk organik yang dapat memperbaiki kualitas hara tanah, sehingga menjadi subur kembali untuk ditanami. HKTI juga mengembangkan teknologi drone pertanian dan saat ini tengah menjajaki pembuatan mobil listrik pedesaan untuk membantu petani di daerah, dan lain-lain.

        Dari sisi permodalan, saat ini HKTI melakukan penjajakan kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menggelontorkan dana KUR kepada petani. Kedua pihak?sepakat mempersiapkan MoU untuk hal tersebut. Harapannya, kredit tersebut bisa dimanfaatkan seluas-luasnya dan sebaik-baiknya oleh petani.

        "Kami ingin sampaikan pula bahwa pihak perbankan tidak perlu merasa khawatir menyalurkan kredit atau modal kepada petani. Sebab, petani adalah pelaku riil pertanian di lapangan," tambah dia.

        Sedangkan untuk solusi pascapanen dan pemasaran, HKTI sudah membangun akses pasar bagi produk-produk pertanian dengan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pihak-pihak yang bersedia menjadi off-taker produk pertanian. Program ini sudah berjalan dan akan terus dikembangkan.

        Ditambahkannya, HKTI merupakan mitra strategis pemerintah untuk mendorong terciptanya kedaulatan pangan nasional. Jadi, HKTI harus memberikan bantuan dan dorongan dari berbagai sisi karena tujuan HKTI, di samping menyejahterakan petani, juga ingin bersama-sama pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan, bukan hanya swasembada pangan.

        Dengan langkah-langkah tersebut, HKTI secara bertahap memberikan solusi bagi bangsa dan negara melalui karya nyata yang memberikan dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya petani yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia.

        "Kita bangga Indonesia memperoleh apresiasi dari FAO atas capaian pembangunan pertanian dan menilai Indonesia memiliki peluang untuk mengekspor produk pertaniannya dengan adanya kenaikan produksi. Namun menurut FAO, untuk memasarkan produk pertanian ke luar negeri, produk itu sendiri harus berdaya saing, efisien, dan spesifik, dan organik," ujar Moeldoko.

        "FAO berharap Indonesia dapat menjadi promotor sistem pertanian Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) dan organik. LEISA merupakan sistem pertanian berkelanjutan dengan input luar yang rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan efisien," tambah dia.

        Kedaulatan pangan merupakan salah satu program prioritas pemerintah saat ini, tercantum dalam Nawa Cita agenda ke-7, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.?Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai kekuatan untuk mengatur sistem dan masalah pangan secara mandiri.?

        Untuk terciptanya kedaulatan pangan, maka perlu dukungan. Pertama, ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri. Kedua, pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri. Ketiga, mampu melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan, terutama petani dan nelayan.

        "Untuk menopang kedaulatan pangan dari sisi permodalan, pemerintah sudah punya program KUR. KUR yang bernilai ratusan triliunan rupiah merupakan potensi besar yang bisa diakses petani untuk mengatasi permodalan. Kami optimistis melalui KUR, masalah permodalan petani dapat diatasi," tutup Moeldoko.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Yosi Winosa
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: