Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        2018, Tahun Berat untuk Perekonomian Indonesia

        2018, Tahun Berat untuk Perekonomian Indonesia Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        2018 dapat dikatakan merupakan tahun yang berat untuk perekonomian nasional. Berbagai faktor yang terjadi telah menyebabkan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi. Kekhawatiran tetap membayangi ekonomi Indonesia, walaupun pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan tingkat kemiskinan, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, berada di bawah 10% dari populasi.

        Executive Director Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rainer Heufers mengatakan, kekhawatiran muncul karena adanya ketakutan akan berulangnya krisis ekonomi 1998. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin memperkuat kekhawatiran tersebut. Padahal, kondisi krisis ekonomi 1998 sangat berbeda dengan yang terjadi pada 2018.

        "Depresiasi mata uang jauh lebih rendah daripada 1998. Bank-bank di Indonesia sudah lebih kuat dan sektor keuangan Indonesia jauh lebih kuat dalam menghadapi tekanan global," kata dia dalam pernyataan tertulisnya kepada redaksi Warta Ekonomi di Jakarta.

        Cadangan devisa negara, lanjut Rainer, jauh melebihi pada 1998, dan rasio utang terhadap PDB kurang dari setengah dari 74% yang dialami Indonesia pada 1998. Defisit anggaran dan tingkat utang secara umum tetap terkendali dan berada dalam batas aman yang diatur UU. Hal ini bahkan tetap terjadi setelah Bank Indonesia (BI) mengikuti kebijakan normalisasi The Fed dengan menaikkan suku bunga tujuh kali dengan total 1,75 % pada 2018.

        "Pemerintah sebaiknya fokus menerapakan strategi ekonomi jangka panjang yang menitikberatkan pada teknologi, produktivitas, dan peningkatan daya saing. Hal ini penting diterapkan untuk mewujudkan agenda Nawa Cita Presiden yang bertujuan meningkatkan infrastruktur, pembangkit listrik, dan kesejahteraan rakyat," ujarnya.

        Akan tetapi, menurut Rainer, yang terjadi saat ini justru cenderung kontradiktif dengan semangat tersebut. Pada 2018, Freeport akhirnya terpaksa melakukan divestasi untuk memungkinkan kontrol domestik atas sumber daya alam. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjual obligasi senilai US$4 miliar untuk mendanai akuisisi saham Freeport.

        "Investor asing lain pada akhirnya keluar dari pasar komoditas Indonesia dengan mengikutsertakan keahlian dan teknologi mereka, yang akhirnya berpotensi merugikan Indonesia," imbuhnya.

        Kampanye untuk pemilihan parlemen dan presiden sudah dimulai pada paruh kedua 2018. Hal ini tentu menambah kepekaan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah menerapkan tarif impor pada 1.147 komoditas. Kebijakan ini, lanjut Rainer, mungkin telah menyenangkan masyarakat, tetapi tidak membawa dampak signifikan untuk menyeimbangkan neraca berjalan.

        "Pemerintah bahkan tidak memotong subsidi BBM untuk mengurangi pengeluaran. Sebaliknya, pemerintah tetap berpegang pada keputusannya, Pertamina harus menjual bahan bakarnya di bawah harga pasar nasional. Langkah ini adalah alasan penting mengapa defisit neraca berjalan mencapai 3,37% dari PDB pada 2018," ujar Rainer.

        Sektor minyak dan gas mengalami kerugian US$12,21 miliar hingga November 2018. Kondisi ini berkontribusi pada hilangnya surplus aktual di sektor nonmigas dan menjadi kontributor terbesar untuk keseluruhan defisit neraca berjalan.

        "Secara umum, 2018 adalah tahun yang sulit bagi perekonomian. Masih adanya sebagian perangkat peraturan yang tidak konsisten dan tidak efisien membuat pemodal atau pemilik bisnis menahan diri dalam menginvestasikan modalnya. Pertumbuhan output saat ini melambat, permintaan gagal membaik secara signifikan dan penjualan ekspor turun sepanjang tahun. Investasi asing langsung anjlok lebih dari 20% year on year pada kuartal ketiga 2018," jelas Rainer.

        Memasuki 2019, Rainer memprediksi pemerintah akan menahan diri untuk tidak mengeluarkan kebijakan atau inisiatif ekonomi sebelum akhir masa jabatan?Jokowi. Upaya agresif untuk membuka 54 sektor tambahan melalui relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk investasi asing pada November, misalnya, ditentang oleh kelompok-kelompok yang akhir-akhir ini cukup sering bersuara seiring semakin dekatnya pemilihan umum.

        Perjanjian perdagangan bebas dengan Australia saat ini ditunda meskipun rencana sebelumnya telah ditandatangani pada Desember. Akibatnya, ekonomi relatif tidak terpapar dengan dinamika perekonomian global dan juga terus-menerus memiliki rasio perdagangan terhadap PDB yang relatif rendah.

        Rainer menjelaskan, akibat isolasi ini, Indonesia tidak dapat mengambil manfaat dari pergeseran strategi China dari industri padat karya. Ekonomi digital yang tumbuh mungkin memberi Indonesia sedikit harapan. Investor dalam e-commerce, teknologi keuangan, dan sharing economy sedang mengamati daya beli konsumen Indonesia yang dianggap mengesankan.

        "Bagaimanapun, pendorong pertumbuhan ekonomi terbesar adalah konsumsi swasta, yang meningkat hampir sepertiga dari 2014 hingga 2018," kata dia.

        Tetapi, perkembangan dalam industri jasa padat modal seperti e-commere, teknologi keuangan, dan sharing economy tersebut dipandang Rainer tidak serta merta akan menyelesaikan hambatan besar yang dihadapi dalam pengembangan sektor manufaktur dan pertanian.

        "Mengingat kedua faktor ini sangat penting bagi orang Indonesia dengan keterampilan dan pendapatan yang lebih rendah, tampaknya tahun depan akan menjadi business as usual lagi, untuk sebagian besar orang Indonesia," tukanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: