Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Hingga 2030, Indonesia Tak Bisa Lepas dari Impor Jagung, Kata Peneliti

        Hingga 2030, Indonesia Tak Bisa Lepas dari Impor Jagung, Kata Peneliti Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Produksi jagung nasional berdasarkan statistik pertanian 2018 terus naik. Produksi jagung mencapai 19 juta ton pada 2014; 19,6 juta ton pada 2015; 23,6 juta ton pada 2016; 28,3 juta ton pada 2017; dan 30 juta ton pada 2018.

        Namun demikian, konsumsinya jauh lebih tinggi, sehingga terpaksa impor. Konsumsi jagung mencapai 29,6 juta ton pada 2014; 45,6 juta ton pada 2015; 49,6 juta ton pada 2016; 56,6 juta ton pada 2017; dan 60 juta ton pada 2018. Alhasil, Indonesia masih mengimpor jagung sebesar 3,3 juta ton pada 2014; 3,37 juta ton pada 2015; 3,5 juta ton pada 2016; 1,3 juta ton pada 2017; dan 714.504 ton pada tahun lalu.

        Peneliti Visi Teliti Saksama, Nanug Pratomo mengatakan, Indonesia hingga 2030 nanti diperkirakan masih belum bisa memenuhi kebutuhan jagung secara mandiri karena permintaan terus meningkat, terutama untuk kebutuhan pakan ternak.

        "Saya mengutip salah satu studi, kami lihat hasil proyeksi menunjukkan hingga mendekati 2029-2030 masih akan terjadi defisit atas produksi dalam negeri di bawah dari permintaan domestik," katanya dalam diskusi "Data Jagung yang Bikin Bingung" di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (21/2/2019).

        Baca Juga: Kementan Tegaskan Produksi Jagung Mencukupi Kebutuhan Pakan

        Baca Juga: Kubu Prabowo: Impor Jagung Turun, Tapi Kok Impor Gandum Naik?

        Ditambahkan, kebutuhan jagung untuk pakan ternak trennya akan terus naik, sementara produksi dalam negeri belum mampu mengimbangi. Apalagi, jagung tak hanya diperlukan oleh produsen pakan ternak. Peternak kecil juga membutuhkannya untuk memproduksi pakan sendiri guna menekan biaya pakan jadi yang mahal.

        Mengacu data pada 2014-2018 lalu, konsumsi jagung untuk pakan mencapai 73% dari total konsumsi pada 2014, 48,9% total konsumsi pada 2015, 50% total konsumsi di 2016, 49% total konsumsi 2017, dan 50% total konsumsi 2018. Sisanya untuk bibit, bahan makanan, olahan bukan makanan, dan tercecer.

        "Enggak semua peternak kita mampu beli hasil (pakan) industri pabrikan. Ada peternak yang mau, enggak mau mengolah sendiri, membuat pakannya sendiri yang butuh jagung mentah," tambah dia.

        Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan, akurasi data dan neraca jagung penting sebagai dasar pengambil kebijakan untuk komoditas pangan strategis seperti jagung. Menurutnya, dalam pengambilan keputusan rapat koordinasi terbatas di Kemenko Perekonomian seperti untuk komoditas pangan strategis jagung, apakah perlu impor atau tidak, ada beberapa kepentingan yang harus dijaga.

        "Kepentingan yang harus dijaga adalah kepentingan produsen, yaitu petani jagung. Di sisi lain, ada kepentingan konsumen, yaitu masyarakat, termasuk peternak yang menjadikan jagung sebagai pakan ternak. Ini tidak mudah menyeimbangkannya? karena ada kepentingan yang berbeda antara produsen dan konsumen," kata dia.

        Ia mengingatkan jika harga jagung tinggi, maka akan merugikan produsen atau petani jagung, tetapi bila harga terlalu rendah, akan merugikan produsen atau petani jagung.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Yosi Winosa
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: