Peneliti asal Amsterdam, Ward Berenschot menyoroti maraknya politik uang pada Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Menurutnya fenomena itu cendrung naik tingkat ketataran yang lebih tinggi, yakni menjadi sebuah sistem yang ia sebut sistem politik transaksional.?
Hal tersebut dipaparkan Ward dalam seminar bertajuk "Politik Uang dalam Pemilu 2019" yang digelar LP3ES bekeejasama dengan Institute for Development Economics and Finance (Indef) dan lembaga penelitian asing KITLV, di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (8/4/2019).
Ward Berenschot mengatakan kalau bahasan sistem politik transaksional di Indonesia telah ditulisnya dalam sebuau buku berjudul "Democracy For Sale; Elections, Clientelism and The State In Indonesia".?
Namun ia menjelaskan inti bahasan dari isi buku yang ditulisnya bersama peneliti asal Australia, Edward Aspinall.
"Kami mau membahas politik di belakang layar di Indonesia. Dimensi informal. Kami mau fokus ke politik tujar kepentingan atau politik transaksional. Dalam buku ini kami sampaikan, bagaimana praktiknya di Indonesia dibandingkan dengan di India," ungkapnya.?
Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi Tak Tercapai, Perlukah Pemerintah Dievaluasi?
Lebih detail, Edward Aspinall menjelaskan asal muasal politik transaksional yang terjadi di Indonesia.
"Dalam pemilihan, biasanya memberikan dukungan lalu akan dapat imbalan. Misalnya pekerjaan, uang, proyek, kontrak kerja, hadiah dan lain-lain. Politik macam ini ada di banyak negara. Hanya saja yang berbeda, Indonesia politic fokus pada siapa calon presiden, siapa caleg, siapa calon bupati, tidak fokus pada partainya," ungkapnya lagi.
Menurutnya, justru partai yang seharusnya berperan penting dalam kesejahteraan masyarakat malah terdegradasi peranan dan fungsinya oleh kandidat-kandidat tunggal di Pemilu. Berbeda dengan yang terjadi di negara tetangga seperti India.
"Partai tak berfungsi sebagai perantara antara negara dan masyarakat biasa. Kalau di India kalau ada warga miskin yang sakit, atau butuh bantuan beasiswa, maka mereka akan mendatangi kantor partai atau agen partai. Di Indonesia nyaris tidak ada. Jarang masyarakat datang ke partai minta bantuan, karena partainya sendiri sangat lemah," katanya.?
Karena perbedaan itu, lanjut Edward, politik uang dan politik transaksional marak terjadi. Sebabnya adalah, pertama basis massa partai politik tidak begitu kuat di grass road atau akar rumput. Kedua, para kandidat yang diusung bukan berasal dari kader partai yang bersangkutan, sehingga sistem politik pragmatis, yang disebut Edward sebagai sistem politik transaksional marak terjadi.?
"Fenomena Tim Sukses adalah fenomena unik ada di Indonesia. kami sering bertemu denga caleg yang ikut kompetisi di Jawa. Dia bisa membentuk timses dengan 3 ribu orang atau 4 ribu orang. Mereka membuat identifikasi untuk siapa yang akan memilih, berkomitmen memilih mereka. Biasanya untuk mengikat itu dengan uang," katanya.
Timses itu biasanya, jelas Edward, memberikan kalkulasi penghitungan. Kalau memberi satu TV disuatu daerah bisa dapat 20 suara. Sedangkan kalau memberi mesin potong rumput dapat 50 suara dan seterusnya.?
"Pemberian pada saat pemilu di Indonesia beda sekali dengan di India. Kalau di India partai politik mempunyai akses kuat terhadap pengelolaan anggaran pemerintah. Mereka cari uang bukan lagi untuk melanggengkan kekuasaan, tapi lebih pada peranan partai dalam ikut menjalankan pelayanan publik," tuturnya.
"Tapi pemilihan di Indonesia, semua bentuk jaringan sosial yang ada dipolitisasi dan dipakai para calon. Misalnya majelis taklim dan sebagainya. Lihat saja misalnya di baliho caleg daerah yang saya dapat ini, semua logo organisasi kecil-kecil masuk dan muncul. Organisasi pemulung klub pupuk masuk. Jadi peranan partai sangat terbatas. Akibatnya segala bentuk jaringan sosial yang ada ditumpangi para calon," tambahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh