Anjloknya ekspor produk industri pengolahan disinyalir menjadi pemicu defidit neraca perdagangan yang mencapai US$2,5 miliar pada April kemarin. Pasalnya pertumbuhan negatif dari industri pengolahan bersumbangsih besar dalam menurunkan nilai ekspor pada April hingga 13,10% secara year on year.?
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Yunita Rusanti mengemukakan,? nilai ekspor industri pengolahan mengalami penurunan yang cukup dalam pada April kemarin. Secara year on year, nilainya turun hingga 11,82%. Tak ayal ini membuat pertumbuhan ekspor secara keseluruhan pun sulit terangkat dan tercatat negatif hingga 13,10% secara year on year.?
?Ada hubungannya langsung atau nggak, kita nggak meneliti sejauh itu. Tapi, kemungkinan bisa jadi,? ujarnya di Jakarta, Kamis (16/5/2019).?
Baca Juga: Defisit, Neraca Dagang RI Kembali Alami Defisit di April 2019
Ekspor industri pengolahan merupakan kontributor terbesar yang membentuk total nilai ekspor Indonesia. Porsinya pada April kemarin mencapai 74,77% dari total ekspor pada bulan yang sama. Nilainya sendiri berada di angka US$9,42 miliar.?
Perhiasan menjadi produk industri yang mengalami penurunan ekspor paling tajam periode yang sama. Di mana BPS mencatat, nilai ekspor perhiasan turun hingga US$339,2 juta pada bulan lalu.?
Baca Juga: 4 Bulan, Neraca Dagang RI Defisit US$2,56 Miliar
Di sisi lain Yunita menjelaskan, impor sebenarnya tidak bertumbuh signifikan. Bahkan jika membandingkan nilainya secara tahun, terjadi penurunan.?
?Kalau yang impor kalau dibandingkan dengan tahun lalu, sampai dengan April ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018. Nilai-nilainya lebih rendah. Saya bicara total impor,? paparnya.?
Tercatat impor secara tahunan turun 7,24%. Dari posisinya di angka US$60,12 miliar pada periode Januari?April 2018 menjadi US$55,77 miliar pada periode yang sama tahun ini.?
Sebagian besar impor pun tercatat berupa bahan baku dan penolong sebesar 75,09%. Sementara itu, besaran nilai bahan modal mencapai 16,30% dari total impor. Barulah ada kontribusi barang konsumsi sebesar 8,61%. Sekadar informasi, kontribusi impor barang konsumsi ini turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 9,06%.
Baca Juga: Ekspor Kembali Tekor Melawan Impor di April 2019
Sebelumnya, BPS sempat merilis adanya perlambatan produksi industri besar dan sedang (IBS) pada kuartal I. Di mana tingkat pertumbuhan IBS hanya 4,,45 % dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut melorot dibandingkan tingkat pertumbuhan produksi IBS pada kuartal I-2018 yang secara year on year berada di angka 5,36%.?
Melambatnya pertumbuhan industri pengolahan dinilai memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja ekspor nasional. Masalahnya kebijakan industri hingga kini tidak mengalami perubahan berarti.?
?Sekian tahun industri kita ini mandeg,? ujar ekonom Universitas Brawijaya,? Candra Fajri Ananda,? Kamis (16/5/2019).?
Baca Juga: CAD Direvisi, BI: Ekspor Nggak Bisa Diandalkan Lagi
Buktinya, kata dia, saat ini sulit menemukan industri baru yang bisa berkembang. Hal ini menurutnya merupakan dampak dari kebijakan industri nasional yang berpaku pada kebijakan substitusi impor. Padahal bisa jadi kebijakan itu sudah tidak lagi cocok dengan kebutuhan indonesia saat ini. Menurutnya seharusnya Indonesia bisa menjadi bagian dari industri dunia.?
"Misalkan korea bikin mobil. Ya sudah kita sediakan jok nya atau kampas remnya. Jadi menjadi bagian dari itu. Jangan memproduksi mobil," ujar dia.?
Meski daya saing nasional dikatakan sempat meningkat, Candra menilai keterbatasan pasar turut memperparah lesunya kinerja ekpor ini.?
"Makanya kemarin Kementerian Perdagangan melakukan kerjasama dengan beberapa negara di Amerika Latin jadi memperluas ekspansi pasar, harapannya mungkin itu," pungkasnya.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: