Bisnis e-commerce belakangan mengalami shifting dari online ke offline (O2O). Tidak sedikit pelaku e-commerce B2C ternama meluncurkan konsep toko offline mereka, seperti Bukalapak dengan Mitra Bukalapak, Tokopedia dengan Tokopedia Official Store dan JD.id dengan JD.id X Mart.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut shifting itu wajar dilakukan, karena pasar offline memiliki nilai yang jauh lebih besar. Berdasarkan data Global Retail Development Index 2017, nilai penjualan ritel Indonesia mencapai US$350 atau sekitar Rp4,6 kuardriliun. Sementara nilai transaksi ritel e-commerce Indonesia diperkirakan hanya mencapai US$8,59, atau sekitar 2,4% dari total transaksi ritel. Konsep O2O dibangun oleh pelaku e-commerce untuk memberikan alternatif belanja agar lebih banyak, sehingga meningkatkan transaksi masing-masing pelaku e-commerce.
Baca Juga: Market B2B Lebih Bernilai Dibanding B2C, Ini Alasannya
Joseph Aditya, CEO Ralali mengungkapkan, Ralali tidak melihat potensi bisnisnya dari data tersebut. Tapi berpatokan pada internet penetration dan e-commerce penetration.
"Yang mana, menurut global digital report 2019 dari wearesocial.com, Indonesia dengan penduduk 268 juta jiwa, saat ini pengguna internet mencapai 150 juta, atau dengan penetrasi 78,8%. Dan penetrasi e-commerce mencapai 86% dari pengguna internet tersebut, atau sekitar 129 juta user," ujar pria yang akrab disapa Aditya tersebut, Jakarta, Selasa (2/7/2019).
Sebab, ia melanjutkan, e-commerce bukan hanya ritel saja, tapi juga internet inklusif yang menciptakan peluang kepada semua orang. Jadi kalau di Jakarta semua bisa belanja online, di daerah seharusnya mendapatkan basis yang sama. Itu yang menjadi poin dari bisnis e-commerce. Menurut Aditya, saat ini user e-commerce jika dibanding total populasi hanya sekitar 23%. Dibandingkan dengan China, sudah lebih jauh tinggi.
Baca Juga: Ralali Menjembatani UKM dengan E-Commerce
"Jadi bukan masalah B2B atau B2C, goals-nya adalah lebih ke bagaimana untuk mendapatkan lebih banyak user, dan semua terinklusi. Karena goals yang dimiliki Ralali, adalah bagaimana membuat suatu e-commerce, yang memang segmennya memang kebetulan, tradisional bisnis, semua bisnis. Jadi bagaimana dengan teknologi bisa membuat mereka menjadi lebih baik," ungkapnya.
Soal shifting ke O2O, lanjut Aditya, adalah hal yang wajar dilakukan oleh para pelaku e-commerce B2C. Itu sebagai upaya untuk mendekati para konsumennya dan mengarah ke B2B. Sementara bagi Ralali, dengan model pendekatan yang dilakukan terhadap konsumen, membuat Ralali menjadi e-commerce O2O sejak awal berdiri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: