Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Penyelesaian Sengketa Lahan Sawit Perlu Prioritas

        Penyelesaian Sengketa Lahan Sawit Perlu Prioritas Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Penyelesaian konflik lahan sawit dalam kawasan hutan sebagai pemicu utama isu deforestasi perlu menjadi prioritas pemerintah. Karakteristik penguasaan lahan pada masing-masing lokasi serta historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah harus menjadi pertimbangan penyelesaian konflik.

        Demikian diungkapkan Direktur SPOS Keragaman Hayati (Kehati)?Ifran Bakhtiar dalam Diskusi Pojok Iklim di Jakarta, beberapa waktu lalu.

        Menurutnya, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan seperti perubahan status kawasan hutan (pemutihan) melalui tim terpadu rencana tata ruang wilayah provinsi (RT/RWP). Opsi lain berupa penataan sawit di kawasan hutan serta melakukan pendataan dan reforma agraria melalui perhutanan sosial.

        "Pengakuan sawit sebagai tanaman hutan sebenarnya bisa jadi pilihan. Hanya saja, implementasinya sulit serta rawan penolakan," jelas Irfan.

        Baca Juga: Sudah Tua, Sawit Rakyat Butuh Diremajakan

        Konflik lahan sawit tidak terlepas dari keberhasilan sawit mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga menyebabkan pergeseran budidaya sejumlah komoditas seperti karet dan tanaman lain. Karena itu, penyelesaian tumpang tindih lahan harus jadi prioritas agar Indonesia tidak dihantam terus-menerus dengan isu deforestasi.

        Sebelumnya, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi seperti pelepasan kawasan serta pemberian izin legal (land amnesty) untuk menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit.

        "Kita masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar ke depan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi," kata Prabianto.

        Menurut Prabianto, dalam mengambil keputusan,? pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun. Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

        Prabianto menambahkan, dalam penetapan kebijakan, pemerintah mempertimbangkan beragam pendapat. Jika kebun tersebut menjadi ilegal karena regulasi tumpang-tindih, bisa saja diajukan untuk pelepasan. Opsi lain berupa pemberian status legal atas kebun bisa dengan memenuhi beberapa persyaratan seperti menyelesaikan kewajiban yang selama ini belum dijalankan seperti pembayaran pajak.

        "Hanya saja, karena luasan lahannya yang sangat besar, dibutuhkan waktu dan proses untuk menyelesaikan persoalan ini," imbuh Prabianto.

        Terpisah, Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan Sadino berpendapat, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty, dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.

        Kebijakan itu juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun-temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan itu memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.

        Selama bertahun-tahun, masyarakat dibuat bingung dan tidak nyaman dengan penyelesaian konflik lahan berlarut-larut. Padahal, sebagian besar izin diperoleh mengikuti prosedur UU melalui pemerintah daerah. Sayangnya, izin-izin itu dengan mudah dipatahkan hanya melalui putusan menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

        Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang juga mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit. Pasalnya, Kalteng menjadi provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat.

        "Ini persoalan utama di Kalteng dan perlu diselesaikan segera agar masyarakat tidak terjebak seolah merusak hutan seperti yang saat ini dituduhkan sejumlah pihak," kata dia.

        Menurut Rawing, tumpang tindih regulasi telah mengakibatkan banyak konflik lahan. Sebagai contoh, jika mengacu pada Perda 8 Tahun 2003, sekitar 67% merupakan kawasan hutan. Sedangkan berdasarkan Permenhut 529 Tahun 2012 yang dikeluarkan belakangan menetapkan kawasan hutan mencapai 82%.

        Padahal, sekitar tahun 2000-an, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan mengeluarkan aturan untuk Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Permukiman dan Pengembangan Lainnya (KPPL) tanpa perlu melakukan pelepasan kawasan hutan.

        Namun, pada 2006, keluar aturan baru yang mewajibkan KPP dan KPPL harus mendapat pelepasan kawasan hutan. Di satu sisi, sudah banyak perkebunan yang terlanjur ditanam tanpa pelepasan karena awalnya berpatokan pada aturan yang dikeluarkan tahun 2000. Karena muncul aturan baru sehingga yang sudah terlanjur beraktivitas tanpa pelepasan ini jadi masuk kawasan hutan. Hal ini tidak bisa dihindari dan tentu karena aturan yang terbit belakangan.?

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Agus Aryanto
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: