Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Metode Kerangka Sampel Area Mampu Atasi Isu Overestimasi

        Metode Kerangka Sampel Area Mampu Atasi Isu Overestimasi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Penggunaan metode kerangka sampel area (KSA) diharapkan mampu mengatasi isu overestimasi dalam produksi pangan nasional. Isu overestimasi produksi pangan ini tidak lepas dari metode yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan).

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, akurasi total angka produksi tanaman pangan yang dipublikasikan BPS sangat dipengaruhi oleh kualitas informasi luas panen yang diberikan Kementan.

        Informasi luas panen ini diyakini sarat akan hasil yang cenderung overestimasi karena perhitungan luas sawah dilakukan dengan cara pandangan mata atau eye-estimate. Persoalan mengenai isu konflik kepentingan juga syarat muncul karena digunakan untuk mengevaluasi kinerja yang memang difokuskan untuk peningkatan produksi.

        Baca Juga: Heboh Umbi Porang, Kementan Siapkan SOP Budi Daya Porang

        "Survei ubinan yang dilakukan BPS juga acap kali dinilai sarat dengan isu overestimasi karena menggunakan puluhan ribu sampel yang membuka peluang terjadinya kesalahan dalam penghitungan. Akan tetapi, isu ini lebih dikaitkan dengan data luas panen yang dilakukan Kementan karena data yang diambil tidak berbasis pengukuran, terutama karena melalui eye-estimate," jelasnya.

        Pada akhirnya, lanjut Galuh, ketidakakuratan perhitungan juga berimbas pada bias indeks pertanaman (IP) yang jika melihat kondisi irigasi Indonesia harusnya berada di kisaran 1,3-1,4. Namun, karena data luas panen dan estimasi produktivitas berlebih, nilai IP berada di angka 2 pada 2018.

        Sudah banyak studi yang membuktikan adanya overestimasi pada data pertanian di Indonesia. Salah satunya pada 2012, di mana Kemenko Bidang Perkonomian meminta BPS melakukan Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA) untuk menghitung produksi padi nasional di 2011-2012.

        Hasil PIPA menunjukkan, produksi padi nasional di periode tersebut hanya sebesar 32,87 juta ton GKG, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan data produksi padi lewat metode yang selama ini digunakan, yaitu mencapai 67,26 juta ton GKG.

        Dalam praktiknya, angka produksi tanaman pangan, dalam hal ini padi, merupakan hasil perkalian antara luas panen dan estimasi produktivitas. Pengumpulan data luas panen dilakukan oleh Dinas Pertanian melalui kegiatan Statistik Pertanian (SP) di bawah tanggung jawab Kementan.

        Sedangkan data produktivitas dilakukan melalui Survei Ubinan untuk memperoleh estimasi rata-rata produktivitas, dan hal ini menjadi tanggung jawab BPS.

        Dikarenakan gencarnya isu overestimasi tersebut, akhirnya BPS menghentikan sementara rilis produksi tanaman pangan sejak 2016 dan mulai menggunakan KSA untuk menghitung luas panen tanaman padi, di mana rilis pertama KSA dilakukan di 2018 lalu. Berdasarkan KSA, luas panen padi di Indonesia periode Januari-September 2018 menunjukkan angka 9,54 juta hektare.

        Baca Juga: Kementan Cegah Penyakit pada Padi dengan Perlakuan Benih

        Pada dasarnya, Galuh menjelaskan, KSA merupakan metode yang dikembangkan BPS bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT). Pengumpulan data melalui KSA menggunakan area segmen sebagai sampel perhitungan. Implementasi KSA di Indonesia sendiri menggabungkan peta luas baku lahan sawah yang diperoleh dari teknologi penginderaan jarak jauh (citra satelit) sebagai kerangka pengambilan sampel dan pemanfaatan perangkat Android untuk observasi lapangan.

        Angka baru yang dikeluarkan lewat KSA mengindikasikan adanya kelebihan data produksi sebesar 32% karena subjektivitas dalam pengukuran luas panen dengan menggunakan metode lama. Output dari KSA nyatanya memberikan prediksi potensi luas panen untuk tiga bulan setelahnya.

        "Hal ini tentu sangat membantu dalam pengambilan kebijakan pangan yang antisipatif," tukas Galuh.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: