Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Awas!! Start-up Sering 'Bakar Uang' Terancam...

        Awas!! Start-up Sering 'Bakar Uang' Terancam... Kredit Foto: Unsplash/Headway
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Direktur Generasi Optimis Research and Consulting (GORC), Frans Meroga Panggabean menilai bahwa bisnis start-up memiliki celah kegagalan cukup besar. Bahkan bisnis tersebut berpotensi menyebabkan bubble (gelembung) ekonomi.

        "Dalam pandangan saya fenomena gelembung spekulatif dalam bisnis start-up ini mulai muncul. Tinggal tunggu gelembungnya meletus," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

        Hal tersebut sekaligus menanggapi kabar mengejutkan perusahaan start-up WeWork dengan bisnis utama berbagi ruang kerja terancam bangkrut, dan akan mem-PHK 4.000 karyawannya.

        Diberitakan sebelumnya, oleh New York Times, tidak kurang dari US$1,25 miliar kerugian yang diderita WeWork yang telah menyandang predikat Decacorn dengan nilai valuasi lebih dari US$10 miliar. Bahkan, nilai valuasi perusahaan start-up yang berbasis di New York, AS tersebut, yang semula mencapai US$50 miliar, menjadi hanya kurang dari US$5 miliar.

        Baca Juga: Keren! CEO Ruang Guru Raih CEO Startup of The Year

        Baca Juga: Seberapa Hebat Johny G Plate Bawa Startup Naik Level ke Unicorn & Decacorn?

        Eits, kejutan belum selesai, Softbank Group raksasa investasi dari Jepang juga sebagai investor utama dari WeWork dan Uber menyatakan bahwa merugi sampai Rp100 triliun akibat anjloknya nilai valuasi Uber dan WeWork.

        Selain menderita kerugian mencapai US$ 5 Miliar, Uber sang pionir taksi online berpredikat Hectocorn itupun mengalami terjun bebasnya nilai valuasi menjadi kurang dari US$ 50 Miliar di kuartal II tahun 2019.?

        Mendapati kenyataan prahara yang menimpa WeWork dan Uber membuat publik kaget dan seakan tak percaya Uber yang menjadi pionir taksi online sejak 10 tahun lalu serta telah beroperasi di 785 kota metropolitan dan 173 negara, nilai valuasinya terjun bebas sedemikian drastis.

        Bahkan kekhawatiran pun terjadi, Uber saja bisa rontok, bagaimana dengan Gojek? WeWork saja bisa tumbang, bagaimana Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan OVO?

        Fenomena Bakar Uang

        Lulusan MBA dari Grenoble Universite, Perancis itu menambahkan, "Coba kita perhatikan, Forbes pernah merilis angka kegagalan dalam bisnis start-up itu mencapai 90 persen. Masalahnya sekarang start-up punya citra sebagai 'satu-satunya' bisnis yang sedang berkembang dan populer, tanpa melihat potensi kegagalannya yang besar. Saya menduga akan terjadi start-up bussiness bubbles, tapi semoga saya keliru," ujar Frans.

        Dalam riset Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) terungkap bahwa gejala latah bisnis digital kali ini hampir sama seperti yang terjadi pada tahun 2000. Kala itu muncul fenomena yaitu banyak perusahaan internet yang sempat mempunyai nilai triliunan berakhir gagal tanpa nilai sama sekali.

        Fenomena ini dikenal dengan internet bubble. Pets.com bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, hingga semua saham perusahaan internet turun 75 persen.?

        Para pemodal ventura sangat mudah memberikan pendanaan saat itu. Sebab, mereka berharap bisa segera balik modal begitu perusahaan itu IPO dan mendapat nilai tinggi.?

        Dengan derasnya kucuran uang, startup internet ini berlomba untuk menjadi besar dengan instan. Mereka banyak boros untuk promosi, bahkan 90% anggaran dipakai untuk iklan agar bisa segera dikenal. Mereka juga rajin bakar uang menawarkan layanan gratis atau promo diskon dengan harapan bisa segera meraup pasar.

        Modal Sosial Harus Solid

        Generasi Optimis Research & Consulting berkesimpulan bahwa penilaian valuasi bisnis start-up yang melebihi potensi riil karena bisnis start-up tidak mempunyai modal sosial yang kuat dalam ekosistem bisnisnya.

        Strategi bakar uang akan terus dilakukan demi tetap eksis dalam persaingan karena pasar hanya loyal terhadap harga dan promo serta diskon. Itu akan selalu menjadi "lingkaran setan" yang tidak ada habisnya jika sebuah start-up baru berusaha masuk dalam suatu market.

        Strategi yang benar adalah seharusnya bangun modal sosial yang kuat terlebih dahulu dalam sebuah ekosistem dan bahkan libatkan semua stakeholder dalam ekosistem tersebut untuk berkomitmen membesarkan usaha yang ada untuk kesejahteraan bersama. Jadi dukungan aplikasi digital hanyalah sebagai enabler dan akselerator setelah modal sosial tertanam dengan kuat antar semua pemangku kepentingan.

        "Jadi jangan terbalik, seharusnya aplikasi digital baru dipakai sebagai kemasan untuk membantu dan mempercepat pencapaian tujuan usaha setelah hubungan antar semua peran dalam rantai pasok sudah terjalin dengan solid," jelas dia.

        Bagi Frans, koperasi merupakan jenis badan usaha yang tepat untuk menaungi bisnis generasi milenial saat ini. Dengan prinsip bahwa koperasi adalah kumpulan orang, akan sangat berbeda dengan prinsip koorporasi.

        Dalam koperasi berlaku prinsip One Man One Vote, bukan One Share One Vote seperti koorporasi. Kaidah itu akan selalu mempererat hubungan antar anggota dan selalu membudayakan musyawarah untuk mufakat yang pastinya otomatis memperkuat modal sosial dalam ekosistem usaha yang digeluti.

        "Lagipula dengan sifat-sifat kesetaraan dan egaliter serta ekonomi berbagi yang selalu dikedepankan koperasi, cocok sekali dengan generasi muda sekarang. Itu kan milenial banget," tambahnya.

        Dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1998 tentang modal penyertaan dalam koperasi pun, apabila bisnis start-up berbentuk koperasi tetap dapat lincah dan tangkas untuk mengakses modal. Modal dari para investor akan dapat diakses tanpa harus khawatir akan mendelusi keberadaan para pendiri.

        Berkoperasi

        "Kurang keren bagaimana lagi coba kalau semua bisnis start-up digital berbentuk koperasi. Pertama, dengan tata kelola musyawarah untuk mufakat akan memastikan modal sosial akan lebih solid terbentuk," himbau Frans.

        "Kedua, secara regulasi koperasi dimungkinkan untuk mengakses permodalan dengan mekanisme modal penyertaan atau dapat mengakses pembiayaan dengan menerbitkan Surat Utang Koperasi (SUK)," tambah Frans.

        "Ketiga bahkan yang paling keren, dengan prinsip One Man One Vote, para pendiri tidak perlu khawatir usahanya akan dicaplok pemodal besar," urai Frans Meroga, Pakar Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi Milenial ini lagi penuh semangat.

        Merangkum itu semua, Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) mendorong pemerintah dengan dimotori Kementerian Koperasi & UKM untuk mengkampanyekan Gerakan Nasional agar semua masyarakat termasuk generasi milenial mengenal dan familiar dengan koperasi.

        Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki diminta menggelorakan Gerakan Nasional ini yang bertujuan memasyarakatkan koperasi dan menumbuhkan minat dan cinta masyarakat untuk berkoperasi. Generasi milenial diharapkan mengenal lebih jauh koperasi, tidak hanya sekedar dianggap ketinggalan jaman dan tidak profesional.

        "Nama gerakan ini boleh kita namakan "Berkoperasi Itu Keren". Diharapkan generasi milenial teredukasi bahwa koperasi dan UKM lah tulang punggung ekonomi bangsa sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Koperasi pulalah yang telah beberapa kali terbukti menjadi pilar penyelamat menghadapi krisis multi dimensi yang menerpa Indonesia," ajak Frans Meroga.

        Frans melihat mendesak pula harus adanya payung hukum guna harmonisasi aturan lintas sektoral antar kementerian. Untuk keberhasilan Gerakan Nasional "Berkoperasi Itu Keren" ini dibutuhkan sedikitnya keterlibatan 3 kementerian, Kementerian Koperasi & UKM, lalu Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa & PDTT.

        "Kami dorong segera dirumuskan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pak Teten sebagai Menkop, Pak Tito sebagai Mendagri, serta Pak Halim sebagai Menteri Desa untuk memastikan Gerakan Nasional ini berhasil sesuai dengan harapan," pungkas Frans Meroga.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: