Berdasarkan hasil penelitian Kehati (Keanekaragaman Hayati) Indonesia ditemukan bahwa telah terjadi dinamika kebun sawit rakyat di Desa Sridadi dan Desa Ramin Provinsi Jambi sepanjang dekade ini.
Lahan sawit rakyat swadaya yang ada di Desa Sridadi sekitar 500 hektare, tetapi 50 hektare di antaranya berada di lahan Tahura (taman hutan rakyat). Status lahan sawit di desa tersebut bervariasi mulai dari SHM 40%, sporadik 50%, serta tebas-tebang 10%. Dari total 1.574 KK di Desa Sridadi, 20%-nya merupakan pekebun sawit.
Baca Juga: BPDP-KS Bidik Peremajaan Sawit 500 Ribu Hektare
Desa Ramin merupakan sebuah desa eks-transmigran yang berada di lahan semi gambut dengan 220 hektare-nya telah ditanami sawit. Sekitar 90% pekebun di desa tersebut memiliki lahan sawit dengan rata-rata luas 10 hektare dan hanya 10% pekebun sawit yang memiliki lahan sawit dengan luas lebih dari 50 hektare.
Pada dasarnya, pola supply chain TBS (tandan buah segar) dari perkebunan sawit rakyat menuju PKS (pabrik kelapa sawit) di tiap desa di Jambi memiliki kemiripan. Prinsipnya, makin panjang supply chain, makin banyak aktor yang terlibat dan makin besar pula margin dan value chain dalam tata niaga sawit tersebut.
Pola rantai pasok TBS sawit rakyat di Desa Sridadi dan Ramin mengandalkan tauke/tengkulak agar memiliki akses ke PKS sekitar. Hal ini mengakibatkan bargaining position petani sawit di Desa Sridadi dan Ramin menjadi rendah karena harga TBS ditentukan secara sepihak oleh tengkulak.
Harga TBS yang ditawarkan tengkulak ke petani berkisar antara Rp1.400 hingga Rp1.500/kg, sedangkan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi menetapkan harga sekitar Rp1.870/kg. Margin terendah dan tertinggi yang diperoleh oleh aktor rantai pasok TBS ini berkisar Rp100/kg hingga Rp 300/kg. Kemudahan yang ditawarkan oleh tauke/tengkulak kepada pekebun sawit seperti pinjaman modal produksi serta penjemputan TBS ke kebun menjadi alasan petani untuk memilih cara ini.?
Hasil penilaian Kehati di Desa Sridadi dan Ramin dengan melihat sejauh mana pekebun sawit menerapkan keempat prinsip ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yakni legalitas kebun, organisasi pekebun dan pengelolaan kebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan menghasilkan indeks kesiapan sertifikasi ISPO sebesar 54,7% dan 55,16% atau masuk dalam kategori cukup.
Meski kenyataannya seperti itu, legalitas lahan terkait ekspansi ke Tahura dan lahan semi gambut serta pengelolaan kebun sawit yang masih rendah (petani masih melakukan kegiatan usaha tani sawit dengan mengandalkan pengetahuan "warisan" tanpa SOP yang tepat) menjadi masalah krusial yang dapat menghambat percepatan sertifikasi ISPO khususnya di kedua desa tersebut.?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum